Monthly Archives: January 2015

EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH : TINJAUAN EKPPD, EKPOD DAN EDOB


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Abstrak
The Evaluation of actuating local government is very important to excute so will be to increase public service, trigger of local development process, and to develop public prosperity. EPPD to include EKPPD, EKPOD and EDOB. All to be made as methods to evaluationing of actuating local government that started since January 1, 2001.
Keyword : Evaluation, local government, and local authonomy.

Pengantar
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom berhak, berwenang, dan sekaligus berkewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyediakan pelayanan umum, dan meningkatkan daya saing daerah sesuai dengan potensi, kekhasan, dan unggulan daerah yang dikelola secara demokratis, transparan dan akuntabel. UU ini telah memberikan kewenangan kepada Pemerintahan Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta keragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik, maka Kepala Daerah wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah), LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah), dan Informasi LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah). Bagi Pemerintah, LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah. LPPD dibuat oleh Pemerintah Daerah untuk diberikan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Dalam Negeri setiap tahun anggaran. LKPJ adalah dibuat oleh Pemerintah Daerah kepada DPRD setiap tahun anggaran dan akhir masa jabatan. ILPPD adalah ringkasan LPPD yang disampaikan kepada masyarakat melalui media massa yang tersedia di daerah setiap tahun anggaran .
Untuk mencapai hasil yang maksimal, pemerintahan daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan harus dapat memproses dan melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan asas-asas kepemerintahan yang baik (Good Governance) sesuai dengan asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di sisi lain, Pemerintah berkewajiban mengevaluasi kinerja pemerintahan daerah atau disebut sebagai evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah (EPPD) untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan.
Tujuan utama dilaksanakannya evaluasi, adalah untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja untuk mendukung pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik. EPPD meliputi evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD), evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD), dan evaluasi daerah otonom baru (EDOB).
EKPOD dilaksanakan apabila suatu daerah berdasarkan hasil EKPPD menunjukan prestasi yang rendah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. EDOB dilaksanakan khusus bagi daerah otonom baru dalam rangka mengevaluasi terhadap perkembangan penyiapan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah. EKPPD dilakukan dengan cara menilai kinerja tingkat pengambilan keputusan, yaitu Kepala Daerah dan DPRD, dan tingkat pelaksanaan kebijakan daerah, yaitu satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Sumber informasi utama EKPPD adalah Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) yang disampaikan kepala daerah kepada Pemerintah. Selain itu apabila dipandang perlu, evaluasi dapat juga menggunakan sumber informasi tambahan dari laporan lain baik yang berasal dari sistem informasi pemerintah, laporan pemerintahan daerah atas permintaan Pemerintah, tanggapan atas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPJ), maupun laporan dari masyarakat. EKPPD dilaksanakan dengan mengintegrasikan pengukuran kinerja yang dilaksanakan oleh Tim Nasional EPPD dan Tim Daerah EPPD, serta pengukuran oleh pemerintahan daerah (pengukuran kinerja mandiri, self assessment) yang dilaksanakan oleh Tim Penilai .
Penilaian dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja kunci untuk setiap pengukuran yang secara otomatis akan menghasilkan peringkat kinerja daerah secara nasional yang dapat digunakan untuk menetapkan kebijakan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dalam rangka mendorong kompetisi antardaerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan Presiden dalam menyusun rancangan kebijakan otonomi daerah berupa pembentukan, penghapusan, dan penggabungan suatu daerah serta untuk menilai dan menetapkan tingkat pencapaian standar kinerja yang telah ditetapkan untuk setiap urusan pemerintahan yang dilaksanakan pemerintahan daerah.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini ingin menyoroti mengenai evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah sekarang ini. Tulisan ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini : Apa yang dimaksud dengan EPPD, yang didalamnya terdapat EKPPD, EKPOD dan EDOB? Bagaimana integritas dan kredibilitas Tim Penilai EPPD? Bagaimana alat ukur / indikator penilaian EPPD? Bagaimana pula permasalahan yang dihadapi daerah dalam menyusun LPPD sebagai sumber utama penilaian dalam EKPPD?

EPPD : EKPPD, EKPOD & EDOB
EPPD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, dan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan pada Daerah yang baru dibentuk. Dalam melakukan EPPD secara nasional Presiden membentuk Tim Nasional EPPD. Dalam melakukan EPPD kabupaten/kota Tim Nasional EPPD dibantu gubernur selaku wakil Pemerintah di wilayah provinsi. Untuk melakukan EPPD gubernur membentuk Tim Daerah EPPD.
Tim Nasional EPPD bertugas melaksanakan: EKPPD, EKPOD, dan EDOB. Tim Nasional EPPD terdiri atas: Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kepala Badan Pusat Statistik, dan Kepala Lembaga Administrasi Negara. Dalam melaksanakan tugas EPPD, Tim Nasional EPPD dibantu oleh Tim Teknis. Tim Teknis beranggotakan unsur-unsur dari Departemen Dalam Negeri, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Sekretariat Negara, Ksmenterian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Badan Pusat Statistik, dan Lembaga Administrasi Negara.
Tim Nasional EPPD dalam melaksanakan tugasnya bersinergi dengan departemen/ lembaga pemerintah non departemen. Tugas yang disinergikan meliputi: evaluasi bidang urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh departemen/lembaga pemerintah non departemen atas program dan kegiatan yang dilaksanakan SKPD, pelaksanaan kajian serta klarifikasi terhadap data dan informasi sesuai dengan bidang urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam melaksanakan kajian dan klarifikasi, Tim Nasional EPPD bersama departemen/lembaga pemerintah nondepartemen dapat menyelenggarakan survey kepuasan masyarakat terhadap penyediaan layanan umum oleh pemerintahan daerah.
Tim Daerah EPPD bertugas melakukan EKPPD kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. EKPPD meliputi pengukuran dan pemeringkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. Tim Daerah EPPD terdiri atas: Gubernur, Sekretaris Daerah, Kepala Inspektorat Wilayah Provinsi, Kepala Bappeda Provinsi, Kepala Perwakilan BPKP, Kepala BPS Provinsi, Pejabat daerah lainnya. Sumber informasi utama yang digunakan untuk melakukan EKPPD adalah LPPD.
Pemerintah melakukan EKPOD dalam hal hasil EKPPD suatu pemerintahan daerah masuk kelompok berprestasi rendah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dan untuk kepentingan nasional. Untuk mendapatkan data awal tingkat kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, Tim Nasional EPPD melakukan EKPOD terhadap seluruh provinsi, kabupaten dan kota secara bertahap mulai tahun 2008. Dalam melaksanakan EKPOD, Tim Nasional EPPD melakukan: pengumpulan data tentang pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah, analisis data yang dikumpulkan, menginterpretasikan hasil analisis data, pembandingan hasil evaluasi dengan hasil EKPOD sebelumnya, dan/atau dengan patok banding masing-masing aspek penilaian pada tingkat regional untuk provinsi dan pada tingkat provinsi untuk kabupaten/kota. EKPOD menggunakan aspek-aspek penilaian: kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum; dan daya saing daerah.
Tim Nasional EPPD melaksanakan EDOB terhadap pemerintahan provinsi yang baru dibentuk dengan menggunakan LPPD Otonom Baru provinsi. Tim Daerah EPPD melaksanakan EDOB terhadap pemerintahan kabupaten/kota yang baru dibentuk dengan menggunakan LPPD Otonom Baru kabupaten/kota. EDOB dilaksanakan sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sekali. EDOB meliputi penilaian terhadap aspek perkembangan penyusunan perangkat daerah, pengisian personil, pengisian keanggotaan DPRD, penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan, pembiayaan, pengalihan aset dan dokumen, pelaksanaan penetapan batas wilayah, penyediaan sarana dan prasana pemerintahan, dan pemindahan ibukota bagi daerah yang ibukotanya dipindahkan. Hasil EDOB untuk provinsi disampaikan kepada Presiden sebagai bahan pembinaan dan fasilitasi khusus daerah otonom baru, dan kepada pemerintahan provinsi yang bersangkutan sebagai umpan balik. Hasil EDOB untuk kabupaten/kota disampaikan kepada Presiden dan gubernur sebagai bahan pembinaan dan fasilitasi khusus daerah otonom baru, dan kepada pemerintahan kabupaten/kota yang bersangkutan sebagai umpan balik.

Integritas dan Kredibilitas Tim Penilai?
Tim nasional EPPD yang telah diuraikan di atas akan melaksanakan evaluasi terhadap 33 provinsi yang pada pelaksanaan dilakukan tim teknis. Sementara itu, evaluasi untuk kabupaten/kota dilakukan oleh Tim Daerah EPPD di bawah tanggung jawab gubernur. Timnas EPPD menyampaikan laporan kepada Presiden melalui Mendagri paling lama 12 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pemerintah menetapkan peringkat dan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional untuk provinsi, kabupaten, dan kota dengan keputusan Mendagri. Seperti diketahui bahwa di Indonesia sampai dengan tahun 2008, telah terdapat 33 Propinsi dan 471 Kabupaten/Kota .
Peringkat kinerja ditetapkan dengan pengelompokan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kelompok berprestasi sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan peringkat kinerja, pemerintah menetapkan tiga besar penyelenggaraan pemerintahan provinsi yang berprestasi paling tinggi dan tiga besar penyelenggara pemerintahan provinsi yang berprestasi paling rendah. Sementara untuk pemerintahan kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 terbaik dan 10 terendah. Apabila sebuah daerah masuk kelompok berprestasi rendah selama tiga tahun berturut-turut, maka pemerintah dapat melakukan evaluasi kinerja penyelenggaraan otonomi daerah. Evaluasi kinerja pelaksanaan otonomi daerah menggunakan aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Hasil evaluasi tersebut, yang kemudian akan disampaikan kepada Presiden melalui Mendagri untuk bahan pertimbangan kebijakan penghapusan dan penggabungan daerah.
Mengingat pentingnya melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya di era otonomi daerah sekarang ini, maka yang kemudian menjadi persoalan adalah bagaimana dengan integritas dan kredibilitas tim penilai yang secara khusus berada di tim teknis baik yang ada pada tim nasional maupun tim daerah. Proses penilaian yang kemudian menghasilkan peringkat ini tentunya harus dilakukan secara transparan, professional dan akuntabel sehingga tidak akan menjadi polemik seputar integritas dan kredibilitas penilaian yang dilakukan. Kita semua tentu tidak menginginkan adanya kolusi atau semacam kongkalingkong antara tim penilai dengan daerah yang dinilai karena akan menodai amanat aturan perundang-undangan yang berlaku. Diharapkan penilaian berlangsung secara terbuka karena dampak terhadap penilaian tersebut akan sangat fatal bagi daerah yang dinilai apabila mendapatkan nilai terendah selama 3 tahun berturut-turut.
Oleh karena itu, pemerintah baik di pusat maupun di daerah harus melibatkan pihak ketiga yang independen dan kredibel untuk bekerjasama dalam melakukan evaluasi secara transparan dan akuntabel. Perguruan tinggi sudah saatnya diberdayakan sehingga akan memberikan kontribusi penting dalam melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pemilihan perguruan tinggi pun juga harus selektif dengan mempertimbangkan integritas perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak hanya melibatkan perguruan tinggi lokal setempat untuk menghindari kolusi.

Alat Ukur / Indikator Penilaian?
Selain masalah siapa tim penilai yang berintegritas dan kredibel dalam melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, masalah lain adalah bagaimana dengan alat ukur, parameter dan indikator yang dipergunakan oleh tim penilai. Selama ini masih erjadi perdebatan di berbagai kalangan tentang bagaimana meramu alat ukur yang berkualitas dan dapat diterapkan di berbagai daerah di seluruh Indonesia, sekaligus alat ukur yang ditetapkan tersebut jangan sampai merugikan pemerintah daerah yang secara geografis, demografis, dan sumber kekayaan alam serta pertumbuhan ekonominya kurang maju. Pemerintah daerah di wilayah terpencil, wilayah perbatasan, wilayah konflik, dan wilayah pulau terluar tentunya akan sulit berhadapan dan bersaing dengan pemerintah daerah yang berada di perkotaan yang memiliki sumber daya yang besar.
Diperlukan alat ukur / indikator yang mampu mewadahi semua daerah tanpa terkecuali sehingga tidak hanya menguntungkan pada pemerintah daerah tertentu semata. Alat ukur yang dibuat dan ditetapkan harus melihat potensi lokal, kearifan lokal, dan kondisi wilayah di masing-masing daerah yang beragam. Sangat tidak adil apabila dibuat standar penilaian yang dipukul rata di semua daerah sehingga akan sulit dipenuhi bagi daerah-daerah yang relative rendah sumber daya yang dimilikinya.
Kita semua setuju dengan adanya kebijakan pemerintah untuk melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahkan, apabila dilihat sejarah historis, pemerintah sebenarnya telah terlambat mengeluarkan kebijakan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena jika dilihat pelaksanaan otonomi daerah telah dilakukan sejak 1 Januari 2001, sedangkan baru tahun 2008 pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Namun demikian, kebijakan evaluasi ini meskipun terlambat perlu diapresiasi karena tujuannya sangat bagus, yakni akan memacu seluruh pemeirntah daerah di seluruh Indonesia untuk memperbaiki diri dengan cara meningkatkan pelayanan publik, mendorong pembangunan daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, diharapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah akan mencapai wujud nyata, yakni dirasakan sepenuhnya bagi kepentingan masyarakat.

Riset ADB, DEPDAGRI & UNJANI
Berkaitan dengan EKPPD yang dilakukan dengan sumber penilaian utama adalah LPPD, maka pada tahun 2008, ADB dan DEPDAGRI pernah melakukan riset terhadap proses pembuatan LPPD di 40 Kabupaten / Kota diseluruh Indonesia, bekerjasama dengan Pusat Kajian Kepemerintahan dan Kemasyarakatan FISIP UNJANI. Riset yang berjudul “Support for Local Government Performance Measurement System : Contract Conducting Local Government Assesment Survey”, dengan pendanaan ADB Grant : INO-39371-01, telah menghasilkan suatu hasil riset yang menggambarkan lemahnya proses penyusunan LPPD yang dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah .
Dalam pandangan pemerintah daerah, LPPD hanya bersifat formalitas belaka. Hal ini dikarenakan LPPD yang dibuat oleh local government dan diserahkan ke Pusat (Depdagri) dipandang belum ada feed back (umpan balik) yang konstruktif dan dinilai tidak mengandung unsur “reward and punishment”. Sebagian besar Local Government mengeluhkan banyaknya laporan yang dibuat, termasuk LPPD sehingga mereka menganggap terlalu disibukkan dengan kegiatan pembuatan laporan dan cenderung menganggu kegiatan rutin. Selama ini, selain menyusun LPPD, local government juga menyusun LKPJ, LAKIP, dan IPPD sehingga hal ini dianggap sebagai beban.
Penyusunan LPPD masih dianggap sebagai sesuatu yang “kurang penting” jika dibandingkan dengan penyusunan LKPJ. Hal ini dikarenakan penyusunan LKPJ sangat sensitif dan politis karena berhadapan dengan lembaga DPRD (legislatif daerah), sedangkan LPPD diserahkan ke pusat (depdagri) yang sampai dengan saat ini mereka masih menganggap kurang ada umpan balik. Sebagian besar daerah menginginkan adanya semacam pedoman teknis berupa sistematika penulisan laporan LPPD, yang didalamnya mengatur tampilan data, apakah menggunakan tabel, grafik, matriks, uraian kata-kata, dan lain-lain sehingga local government tidak bingung dalam menyusun laporan LPPD. Selama ini, mereka menyatakan bahwa LPPD yang dibuat masing-masing local government sangat beragam modelnya sehingga perlu ada penyamaaan dalam tampilan penyajian data.
Ada usulan dari sebagian local government, seperti DIY, Sragen, Sleman, Medan, dan Pontianak agar supaya pemerintah pusat membuat kapasitas ICT (sistem pelaporan secara elektronik) yang mampu untuk mendukung penyusunan dan pengiriman laporan LPPD secara cepat dan murah. Harapannya, pemerintah pusat, melalui Depdagri, membuat semacam soft ware sistematika LPPD yang ditampilkan di web site Depdagri dimana masing-masing local government bisa mengakses dan mendownload untuk kemudian tinggal mengisi data-data yang diperlukan atau data-data yang diminta untuk kemudian dikirimkan kembali kepada Depdagri melalui internet tersebut.
Proses koreksi dan pemberian komentar dari tim Depdagri terhadap laporan LPPD juga dilakukan melalui internet. Dengan pembuatan semacam soft ware tersebut maka akan memudahkan bagi masing-masing local government dalam membuat laporan LPPD dengan biaya yang murah, seragam sistematikanya, dan dapat diakses oleh setiap orang di berbagai daerah di seluruh Indonesia sehingga aspek transparansi dan akuntabilitas dapat terpenuhi dengan baik.

Catatan Penutup
Evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dituangkan dalam PP No. 6 Tahun 2008 merupakan babak baru dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Selama ini, secara formal belum ada aturan, mekanisme, dan prosedur yang baku dalam melakukan penilaian terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga pemerintah daerah seolah-olah seenaknya saja dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, 1 Januari 2001.
Evaluasi penyelenggaraan pemeirntahan daerah harus dilaksanakan secara transparan, terbuka, akuntabel, professional dan adil sehingga akan menghasilkan hasil peringkat daerah yang tidak menimbulkan pro dan kontra di kemudian hari. Kekhawatiran yang timbul selama ini adalah berkaitan dengan integritas dan kepribadian tim penilai / tim teknis yang dibentuk pemerintah untuk melakukan evaluasi. Selain itu, alat ukur / parameter / indikator penilaian / evaluasi juga harus disusun dan ditetapkan secara berkualitas dengan memperhatikan kemampuan daerah yang berbeda / beragam.
LPPD yang merupakan sumber utama evaluasi dalam EKPPD harus dibuat dan disusun oleh seluruh pemerintah daerah secara berkualitas dan professional. Apabila sebelum keluarnya PP No. 6 Tahun 2008, proses penyusunan LPPD hanya dimaknai oleh pemerintah daerah sebagai syarat formal semata karena selama ini tidak ada “reward and punishment” dari pemerintah pusat terhadap LPPD yang dilaporkan setiap tahunnya, maka dengan keluarnya PP No. 6 Tahun 2008 maka pemerintah daerah harus sungguh-sungguh membuat LPPD karena merupakan penilaian utama bagi tim teknis dalam melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Agus Subagyo, lahir di Sukoharjo, Solo, 18 April 1978. Staf Pengajar pada FISIP UNJANI dan Ketua Pusat Studi Kepemerintahan dan Kemasyarakatan (PK3) FISIP UNJANI. Menyelesaikan studi S1 di FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan studi S2 di Program Studi Ilmu Politik UGM Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi Program Doktor Ilmu Politik di UGM. Publikasi karya ilmiah yang pernah diterbitkan adalah Restrukturisasi Ekonomi dan Birokrasi : Kebijakan Atas Krisis dalam Tinjauan Sistem Moneter Internasional, (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2003) dan Kapita Selekta Hubungan Internasional, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Aturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Buku :
Laporan Pelaksanaan Dan Hasil Survei “The Local Government Performance Measurement System (Lgpms) Project, ADB Grant: Ino-39371-01”, Kerjasama ADB, DEPDAGRI, PK3 FISIP UNJANI, Jakarta, Tahun 2008
Pratikno, Otonomi Daerah : Peluang dan Tantangan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001)
Riwokaho, Josef, Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003).
Wasistiono, Sadu, Kapita Selekta Pemerintahan, (Bandung : Fokus Media , 2004).
Wasistiono, Sadu, Manajemen Pemerintahan Daerah, (Bandung : Fokus Media, 2004).
Internet:
http://www.depdagri.go.id/berita/kabupatenkota.
http://www.tempointeraktif.com/news/opini.
http://www.antara.com/rubrikberita/pemerintahdaerah/ok6570%09

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani dan Ketua PK3 FISIP Unjani Cimahi

Categories: Studi Politik | 1 Comment

INDUSTRI PERTAHANAN DALAM KONTEKS SISTEM PERTAHANAN NEGARA


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Abstrak
Tulisan ini ingin mendeskripsikan tentang peranan industri pertahanan dalam konteks sistem pertahanan negara. Pertahanan negara memerlukan persenjataan militer yang dapat diperoleh dengan, salah satunya, mengembangkan industri pertahanan, dimana industri strategis nasional dapat dijadikan sebagai penopang yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan peralatan pertahanan negara. Langkah pengembangan industri pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah harus melibatkan kalangan industri dan perguruan tinggi sebagai stakeholders yang kompeten dalam proses teknologi dan industri pertahanan.
Kata Kunci : Industri Strategis, Industri Pertahanan, Alutsista Militer, dan
Pertahanan Negara.

Pengantar
Pertahanan negara merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan Bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dengan kata lain, TNI merupakan alat pertahanan suatu bangsa dan negara dan juga sebagai penopang diplomasi internasional bagi Bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, pembangunan kekuatan TNI merupakan suatu keharusan dan keniscayaan. TNI merupakan komponen utama pertahanan nasional dalam menghadapi ancaman dan gangguan yang bersifat militer baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara.
Pada saat ini, kekuatan pertahanan Indonesia berada dalam kondisi ”under capacity”, bahkan apabila disejajarkan dengan sesama anggota negara ASEAN, Indonesia berada pada posisi terbawah. Rendahnya kemampuan untuk menerapkan teknologi baru di bidang pertahanan menyebabkan peralatan militer yang dimiliki kebanyakan sudah usang dan ketinggalan jaman dengan rata-rata usia lebih dari 20 tahun.
Data tahun 2005 menunjukkan bahwa kekuatan matra darat, kendaraan tempur berbagai jenis yang jumlahnya 1.766 unit, hanya 1.077 unit (60,99 persen) yang siap untuk dioperasikan; kendaraan motor berbagai jenis yang jumlahnya mencapai 47.097 unit, yang siap dioperasikan sebanyak 40.063 unit (85,04 persen); dan pesawat terbang berbagai jenis yang jumlahnya mencapai 61 unit, hanya 31 unit (50,82 persen) yang siap untuk dioperasikan.
Sementara kekuatan matra laut, kapal perang (KRI) yang jumlahnya 114 unit, hanya 61 unit (53,51 persen) yang siap untuk dioperasikan; kendaraan tempur Marinir berbagai jenis yang jumlahnya mencapai 435 unit, yang siap dioperasikan hanya 157 unit (36,09 persen); dan pesawat udara yang jumlahnya mencapai 54 unit, hanya 17 unit (31,48 persen) yang siap untuk dioperasikan.
Sedangkan untuk kekuatan matra udara, pesawat terbang berbagai jenis yang jumlahnya 259 unit, hanya 126 unit (48,65 persen) yang siap untuk dioperasikan dan peralatan radar sebanyak 16 unit, hanya 3 unit (18,75 persen) yang siap untuk dioperasikan.
Dengan wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan, laut maupun udara, maka kuantitas, kualitas serta kesiapan operasional alat utama sistem senjata (alutsista) sebesar itu sangat muskil untuk menjaga integritas wilayah dengan optimal. Sementara itu, anggaran pertahanan hanya mencapai 1,1 persen dari Produk Domestik Bruto atau 5,7 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional. Di sisi lain, Singapura sebagai negara pulau telah mengalokasikan anggaran pertahanan nasionalnya mencapai 5,2 persen dari Produk Domestik Bruto atau 21 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasionalnya.
Kondisi ideal dalam periode lima tahun ke depan anggaran pembangunan pertahanan seharusnya mencapai 3 – 4 persen dari Produk Domestik Bruto. Rendahnya anggaran pertahanan ini menyebabkan upaya-upaya peningkatan kemampuan kekuatan pertahanan sangat sulit dilakukan. Padahal diplomasi luar negeri dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional secara signifikan memerlukan dukungan kekuatan pertahanan yang memadai.
Celakanya lagi, sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2005, Indonesia mendapatkan sanksi, berupa embargo militer yang dijatuhkan oleh AS, sebagai akibat adanya dugaan dan persepsi bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Militer Indonesia di Timor-Timur Pasca Jajak Pendapat Agustus 1999. Dengan embargo militer tersebut, kekuatan pertahanan Indonesia, khususnya pemenuhan alusista TNI mengalami hambatan mengingat Indonesia masih sangat tergantung dalam hal persenjataan militer dengan negara luar, khususnya AS.
Berkenaan dengan kondisi di atas, maka tantangan yang dihadapi pembangunan nasional ke depan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan alutsista untuk meningkatkan kemampuan pertahanan pada tingkat minimum essential force. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana dengan skala kekuatan minimum tersebut, mampu meningkatkan jumlah dan kondisi siap alutsista untuk meredam berbagai ancaman pertahanan baik yang berasal dari dalam negeri berupa tradisional-konvensional maupun ancaman non tradisional-non konvensional. Dalam konteks inilah, pengembangan industri pertahanan dalam konteks sistem pertahanan negara sudah saatnya untuk diwacanakan dan diaksikan guna mewujudkan kemandirian bangsa tanpa tergantung dengan pihak asing.
Berangkat dari realitas obyektif tersebut, tulisan ini ingin menyoroti industri pertahanan dikaitkan dengan industri strategis dalam konteks sistem pertahanan negara. Pertanyaan penting yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah : Apa yang dimaksud dengan industri pertahanan? Mengapa Industri Pertahanan memerlukan dukungan dan peran serta industri strategis nasional? Bagaimana industri strategis dimanfaatkan untuk industri pertahanan dalam konteks sistem pertahanan negara? Langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam mengembangkan industri pertahanan?

Konteks Industri Pertahanan
Secara kontekstual, industri pertahanan adalah proses pembuatan (production) dan pengembangan (development) berbagai barang/peralatan yang berkaitan dengan aspek pertahanan, khususnya militer, seperti alutsista (Tank, Helly Copter, Pesawat Terbang, Kapal Perang, Kapal Selam, dll.) dan peralatan pendukung lainnya.
Tujuan pembangunan industri pertahanan adalah untuk mencukupi kebutuhan pertahanan negara sehingga tidak tergantung pada pasokan/suply dari negara lain, apabila negara yang bersangkutan terkena sanksi internasional, berupa embargo militer.
Syarat dibangunnya industri pertahanan adalah kemampuan sumber daya manusia yang handal, sumber daya alam yang potensial, dan sumber daya buatan yang kuat. Kemampuan dasar dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang mutlak dalam menopang berhasilnya industri pertahanan. Kekuatan anggaran yang besar untuk pembiayaan industri pertahanan merupakan kebutuhan wajib yang harus disediakan jika ingin mengembangkan industri pertahanan.
Manfaat yang dapat dipetik dengan pembangunan industri pertahanan adalah keleluasaan dalam memproduksi sendiri peralatan militer sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kondisi wilayah, dan karakter ancaman yang diprediksi mengancam kedaulatan negara tersebut. Negara yang bersangkutan tidak perlu susah payah membeli peralatan militer dari negara lain, yang prosesnya berlangsung lama, harganya mahal, dan seringkali dikaitkan dengan syarat politis tertentu.

Industri Strategis Sebagai Penopang
Sesuai kebijaksanaan Pemerintah yang dituangkan dalam Keppres RI No. 59/1983 dan No. 50/1986, industri strategis dikelompokkan dalam Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang merupakan Badan Pemerintah di bidang peningkatan kemampuan dan penguasaan Iptek dengan menerapkan strategi penguasaan teknologi dibidang masing-masing dalam rangka industrialisasi Indonesia. Strategi industrialisasi Indonesia dilaksanakan dengan penerapan transformasi alat utama TNI dalam rangka menjadikan bangsa Indonesia kuat dan mandiri dalam upaya-upaya penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Dalam mentransformasikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan mandiri dalam aspek industrialisasi dan teknologi, dilaksanakan melalui empat tahapan/ yaitu :
a. Tahap Penguasaan Teknologi.
b. Tahap Integrasi Teknologi.
c. Tahap Pengembangan Teknologi.
d. Tahap Petaksanaan Penelitian Dasar dan Penguasaan Teknologi.
Selain itu, telah lahir pula Kepres RI No. 40 tahun 1999 tentang Dewan Pembina Industri. Kepres tersebut menyatakan bahwa dalam rangka penetapan kebijakan di bidang pembinaan dan pengembangan jangka panjang industri-industri yang bersifat strategis, diperlukan penyempurnaan fungsi dan susunan Dewan Pembina Industri Strategis, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Dewan.
Dewan bertugas membantu Presiden dalam rangka penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan jangka panjang industri-industri yang bersifat strategis, melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif serta penyelarasan kebijakan antar departemen teknis dan lembaga pemerintah lainnya, dalam rangka mendukung per-kembangan industri strategis.Dalam pelaksanaan tugasnya, Dewan menetapkan bidang dan jenis industri yang digolongkan sebagai industri strategis serta memantau perkembangan peran industri strategis tersebut dalam pembangunan nasional.
Keberadaan Industri-Industri Strategis dalam negeri yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu menghasilkan produksi alat peralatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan negara, sementara kebutuhan akan alutsista yang diperlukan oleh TNI sangat besar sekali
Industri strategis sebagai salah satu komponen dalam sistem pertahanan negara, keberadaannya perlu diorganisir dengan sasaran tercapainya upaya yang maksimal dalam mewujudkan penyelenggaraan pertahanan negara. Beberapa industri strategis yang ada saat ini yang telah memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta potensial untuk dikembangkan ke arah industri pertahanan, antara lain :
1. PT. DI (Dirgantara Indonesia)
Industri wahana matra udara dan sistem senjata (roket dan terpedo) yang diproduksi PT.DI dilaksanakan melalui lisensi pengembangan, mempunyai misi sebagai pusat keunggulan teknologi kedirgantaraan.
Dalam tahap 1, penguasaan teknologi diawali dengan memproduksi atas dasar (isensi NC-212 dan NBO-105, kemudian diperluas dengan NBELL 421, NAS-332. Pada tahap II, integrasi teknologi dilaksanakan dengan bekerja sama dengan mitra usaha dari Spanyol, CASA, dalam membuat CN-235. Kesemuanya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan sipil/komersil maupun militer.
Dalam rangka pengembangan telah dilakukan kerja sama antara lain dengan :
a) MBB dan BOEING dalam rangka pembuatan pesawat ATRA 90 (Advance Tecnology Regional Air-craft), yaitu pesawat penumpang berteknologi canggih abad ke 21.
b) Dengan MBB untuk desain dan pengembangan Hellikopter BN-109 untuk versi sipil militer.
c) Dengan General Dynamic untuk “offset” pembuatan komponen tertentu pesawat F-16 Fighting Falcon.
d) Untuk sub kontak komponen Boeing-737, 767.
PT.DI juga telah berhasil menembus pasar internasional dengan mengekspor pesawat ke Thailand, Guam dan Malaysia. Dalam rangka pengembangan produk sendiri (tahap III pengembangan teknologi) telah dikembangkan N-250, pesawat komuter dengan kapasitas 50-60 penumpang dan jarak tempuh 300-400 Km yang telah masuk ke pasaran domestik dan dunia pada tahun 1999 (20 tahun berdirinya PT. DI).
Di samping hal tersebut diatas, PT. DI mempunyai kemampuan dalam pembuatan peralatan :
a) Rocket dari udara ke darat, dari udara ke udara serta dari darat ke udara kaliber 700 mm FFAR.
b) Chasis peluncur peluru kendali dan farelage peluru kendali Rapier.
c) Memproduksi Spare Part Electronic merriam maupun radar.
2. PT. PINDAD
Merupakan industri senjata ringan dan amunisi serta mesin perkakas dengan misi sebagai pusat keunggulan teknologi senjata dan amumsi. Pada saat ini membuat senapan ringan kaliber 5,56 dengan lisensi FNC-FN Herstal Belgia yang dimodifikasikan disesuaikan dengan postur TNI dengan kode SS-1, kapasitas produksi 20.000 pucuk pertahun.
Produksi amunisi dilaksanakan di Turen, Jawa Timur, meliputi berbagai kaliber yaitu 5,56 mm (M 193 dan SS-109), 9 mm 30 inch Polri, 7,62 mm dan 12,7 mm dengan kapasitas seluruhnya lebih dari 50 juta butir pertahun, per shift serta pembuatan granat tangan, granat mortir (60 mm, 81 mm dan 120 mm) dan bahan peledak. Mempunyai fasilitas pengisian bahan peledak dengan kapasitas 600 ton pertahun per shift.
Dalam rangka menunjang kemandirian upaya pertahanan negara PT. PINDAD akan memproduksi berbagai peralatan pertahanan lainnya, seperti kendaraan bermotor taktis (Rantis) dan kendaraan tempur (Ranpur) ringan dan MKB (Munisi Kaliber Besar). Di sisi lain, PT PINDAD telah memproduksi barang non militer, antara lain sistem Rem untuk kereta api (lisensi Knorr), Rail Fastener (lisensi Holandia Kloos), Generator Listrik (lisensi Siemens) dan mesin perkakas dengan lisensi dari Taiwan.
PT. PINDAD telah mampu memenuhi kebutuhan penyediaan alat tempur TNI dan mengekspor amunisi berbagai kaliber ke berbagai negara. Kemampuan lain yang dimiliki ialah merancang dan membangun Alat utama TNI, diawali dengan merancang bangun amunisi Dakhura pada tahun 1990 dan telah diproduksi tahun 1992, Revolver Polri yang mulai diproduksi dan diserahkan kepada Polri pada tahun 1994 melalui kerja sama dengan BPIS, BBPT, Dislitbang Angkatan/Polri dan instansi terkait lainnya.
3. PT. DAHANA (Industri Bahan Peledak Dan Propellant).
Sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah, Perum DAHANA telah diperserokan agar dapat dikembangkan menjadi industri bahan peledak dan propeliant.
Dewasa ini, DAHANA telah memproduksi bahan peledak industri dan dalam waktu dekat akan dikembangkan agar mampu memproduksi propeliant jenis single/double base untuk amunisi, double base dan composite untuk peroketan serta bahan petedak industrial jenis emulsion. Hingga saat ini, DAHANA merupakan industri tunggal yang mempunyai wewenang berdasarkan keputusan Presiden untuk pengadaan, penjualan dan distribusi bahan peledak di Indonesia.
4. PT. KRAKATAU STEEL.
Sebagai industri baja terpadu yang mengelola biji besi menjadi biji spons untuk dijadikan billet dan slab sebagaimana bahan baku besi baja lainnya. Selain itu juga dihasilkan produk-produk berupa besi beton, baja lembaran serta baja profH, yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku kapal (PT. PAL), gerbong kereta api (PT. INKA), mesin perkakas (PT. PINDAD), serta bahan peralatan pertahanan negara pada umumnya. Sebagai tulang punggung industri baja nasional, maka PT. Krakatau Steel mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknologi besi baja dan memiliki kapasitas produksi:
a) PTNIk Besi Spons : 2.580.000 ton/tahun.
b) PTNIk Billet Baja : 800.000 ton/tahun.
c) PTNIk Slab Baja : 1,500.000 ton/tahun.
d) PTNIk Hot Coil & Plate : 2.000.000 ton/tahun.
5. PT. LEN INDUSTRI
Sesuai dengan kebijakan pemerintah, unit produksi LEN-LIPI dijadikan LEN-BPIS dan pada tahun 1991 telah diperserokan menjadi PT. LEN Industri, tahap selanjutnya akan dikembangkan sebagai industri peralatan elektronika profesional dan komponen yang dapat menunjang kemandirian industri elektronika di dalam negeri. Saat ini, PT. LEN Industri telahh memproduksi berbagai peralatan elektronika sendiri seperti SBK, Teleprinter (lisensi Siemens), PCM, Radio/TV Broadcast.
Di bidang elektronika untuk pertahanan dan keamanan, akan dikembangkan kemampuan memproduksi/memperbaiki radar, sistem kontrol, perakitan K3I dan Avionic, di samping itu saat ini telah mampu mengekspor berbagai komponen elektronika antara lain ke negeri Belanda.
6. PT. INTI (Industri Telekomunikasi dan Informatika)
Merupakan Industri telekomunikasi dan Informatika yang menghasilkan alat telekomunikasi untuk berbagai kebutuhan termasuk untuk pertahanan dan keamanan. PT INTI mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknologi komunikasi dan informatika telah memproduksi Sistem Saluran Telekomunikasi Microwave, Sistem Telepon Digital, SBK, STBK. Telah dikembangkan teknologi Sistem Packsanet (Packed Satelfite Network) yang dapat memenuhi kebutuhan pertukaran data nasional dengan memanfaatkan Satelit Palapa. PT. INTI telah pula berhasil mengekspor produk SBK ke Malaysia. Produk untuk kepentingan TNI antara lain Telepon Militer Lapangan.
7. PT. BARATA INDONESIA.
Dalam penguasaan teknologi produksi untuk konstruksi baja/ plat dan bejana, PT. BARATA INDONESIA telah mampu membuat perakitan penuh, sedangkan pada produk lainnya alat berat, pengecoran dan permesinan masih dalam tahap perakitan sebagian serta mempunyai potensi untuk membuat berbagai jenis alat berat untuk konstruksi. PT. BARATA INDONESIA mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknotogi atat berat, pengecoran dan permesinan.
8. PT. BBI (Boma Bisma Indra).
Merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri permesinan (diesel), konstruksi peralatan PT NIk dan rekayasa industri. Sebagai industri pembuatan motor diesel untuk berbagai aplikasi antara lain pembangkit listrik, otomotif, marine dan motor diesel sampai 500 Pk kerja sama dengan KHD (Khobhner Humbolelt Deusz) Jerman. PT. BBI mempunyai misi menjadi pusat keunggulan teknonogi industri motor bakar (diesel) dan peralatan industri.

Kontribusinya Terhadap Sishaneg
Kerjasama dengan industri strategis untuk kepentingan militer dalam rangka pertahanan negara merupakan hal yang sangat penting untuk segera direalisasikan. Kerjasama Dephan dan TNI dengan lembaga-lambaga lain merupakan bagian penting dari kebijakan strategi pertahanan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2002, kerjasama tersebut dilaksanakan dalam rangka pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI dan komponen pertahanan lainnya.
Kerjasama dimaksud memiliki nilai strategis, karena dapat mendorong percepatan menuju kemandirian nasional di bidang pertahanan, termasuk memberi ruang bagi sektor lain untuk terlibat dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Melalui kerjasama tersebut Departemen Pertahanan dan TNI akan berusaha untuk ikut mendorong pengembangan industri nasional agar di samping menghasilkan produk utamanya juga mengembangkan kemampuan memproduksi alat peralatan yang dibutuhkan bagi keperluan pertahanan.
Dalam rangka pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara, kerjasama dengan departemen dan instansi pemerintah lainnya penting dilaksanakan. Kerjasama tersebut diperlukan dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Wujud nyata kerjasama yang harus dilakukan adalah :
1) PT. DI (Dirgantara Indonesia). Secara umum keterlibatan PT. PT. DI dalam pengembangan Alat peralatan pertahanan negara akan lebih dominan untuk kepentingan sistem pertahanan udara. Dilihat dari beberapa produk seperti helikopter dan persenjataannya akan dapat dimanfaatkan dalam sistem pertahanan negara aspek darat sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dalam masa damai maupun dalam operasi yang dilaksanakan bila terjadi perang. Namun demikian pertahanan negara aspek darat tidak hanya bertumpu pada hasil produk saja yang dapat dikelola sebagai komponen pertahanan negara, melainkan para pekerja yang bila dimobilisasi dapat dimanfaatkan sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
2) PT. PINDAD. Keterkaitan PT. PINDAD dengan sistem pertahanan sangat besar sekali baik dalam masa damai maupun masa perang. Dalam mengatasi berbagai permasalahan separatis yang terjadi dewasa ini, PT Pindad telah mengambif peran dalam penyediaan alat peralatan perang berupa senjata dan amunisi, baik untuk keperluan tempur maupun latihan.
3) PT. DAHANA (Industri Bahan Peledak Dan Propellant). Keterkaitan PT. DAHANA dengan sistem pertahanan negara adalah hasil produksi yang telah ada dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan kemampuan alat peralatan mititer yang ada saat ini. Di sisi lain, mempermudah mengorganisir kemampuan personel dan alat peralatan yang ada sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung dalam sistem pertahanan negara.
4) PT. KRAKATAU STEEL. Keterlibatan PT Krakatau Steel dalam sistem pertahanan negara cukup banyak, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia yang mampu mendukung pembangunan nasional. Dalam pemanfaatannya untuk keperluan alat peralatan militer, PT Krakatau Steel dapat menyediakan bahan-bahan baku dalam pembuatan jembatan, suku cadang Alat Berat, penyediaan bahan baku rekayasa Alat Berat menjadi Tank Mounted Track Width Plow dan bahan baku untuk pembuatan berbagai jenis rintangan kawat duri, rintangan yang terbuat dari baja.
5) PT. LEN INDUSTRI. Keterkaitan PT. LEN Industri dengan sistem pertahanan negara adalah kebutuhan akan alat peralatan elektronika yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas baik di masa damai maupun perang.
6) FT. INTI (Industri Telekomunikasi dan Informatika). Diharapkan mampu memproduksi alat peralatan telekomunikasi yang dapat digunakan untuk kepentingan TNI yang mampu bersaing dengan kemajuan telekomunikasi komersial saat ini.
7) PT. BARATA INDONESIA. Keterkaitan PT. BARATA INDONESIA dengan sistem Pertahanan negara banyak sekali, khususnya dalam pengembangan Alat Berat baik dalam rekayasa, rancang bangun maupun modifikasi alat berat konstruksi sebagai alat berat yang berfungsi dalam pertempuran serta rekayasa menjadi senjata.
8) PT. BBI (Boma Bisma Indra). Keterkaitan PT. BBI dengan sistem pertahanan negara adalah mampu mendukung pengembangan industri otomotif nasional dan diharapkan mampu mendukung pengembangan otomotif yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan militer khususnya TNI, dalam pelaksanaan tugas.

Langkah Pengembangan Industri Pertahanan
Salah satu bentuk kerjasama yang dapat dilakukan untuk mengembangkan industri pertahanan adalah mensinergikan perkembangan industri strategis, melalui model kemitraan tiga pelaku ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu : industri, perguruan tinggi dan institusi pertahanan sebagai pengguna. Langkah yang dikembangkan melalui kerjasama tersebut adalah :
1) Kerjasama bidang kedirgantaraan, perkapalan, tehnik sipil, industri alat berat, otomotif, elektronika, informatika dan industri nasional lainnya.
2) Melaksanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan engineering, meliputi keahlian dan kemampuan pengembangan dan pembuatan pesawat angkut militer, pesawat misi khusus, kapal patroli cepat, kapal perang, kendaraan tempur militer sistem senjata,sistem jaringan komunikasi, pusat komando dan pengendalian serta sistem informasi.
3) Memperdayakan industri nasional dalam rangka menciptakan kemandirian, sekaligus memperkecil ketergantungan di bidang pertahanan terhadap negara lain.
4) Kerjasama pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan lainnya.
5) Kerjasama penelitian dan pengembangan pertahanan dikembangakan guna menghasilkan kajian-kajian tentang konsep pertahanan, baik yang berkaitan dengan tehnologi, manajemen maupun sumber daya manusia.
6) Pengembangan partisipasi industri strategis dalam perbaikan, pemeliharaan, penggantian peralatan pertahanan, serta pemanfaatan alutsis produk industri pertahanan dalam negeri.
7) Kerjasama pemerintah dengan perguruan tinggi, lembaga industri strategis, serta masyarakat dalam upaya pengembangan kerjasama bidang kedirgantaraan, perkapalan, teknik sipil, industri alat berat, otomotif, elektronika, dan industri nasional lainnya.
8) Pelaksanaan kerjasama pendidikan dan latihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan engineering di bidang peralatan pertahanan.
9) Pengembangan peran aktif Forum Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Idustri Pertahananm dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pertahanan khususnya dalam rekayasa prototipe alutsista guna mengurangi ketergantungan terhadap peralatan dari negara lain.
10) Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan engineering, meliputi keahlian dan kemampuan mengembangkan dan pembuatan pesawat angkut militer, pesawat misi khusus, kapal patroli ce-pat, kapal perang, kendaraan tempur militer, sistem senjata, sistem jaringan komunikasi, pusat komando dan pengendalian serta sistem informasi.
11) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta industri nasional dalam rangka pembangunan dan pengembangan kekuatan pertahanan negara serta menciptakan kemandirian, sekaligus memperkecil ketergantungan di bidang pertahanan terhadap negara lain.

Catatan Kaki

Substansi pernyataan di atas dapat dijumpai dalam UUD 1945 Hasil Amandemen
Esensi pernyataan di atas dapat dilihat dalam UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Materi pernyataan di atas dapat dilihat dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI
Selain itu, dengan ditetapkannya Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, upaya meningkatkan profesionalisme TNI dihadapkan pada kesejahteraan prajurit yang masih memprihatinkan. Selanjutnya upaya mendayagunakan potensi pertahanan negara dengan meningkatkan peran aktif masyarakat masih menghadapi beberapa kendala. Selain rendahnya kemampuan pembiayaan pemerintah dan kurangjelasnya peraturan perundang-undangan adalah bagaimana membangkitkan kesadaran bela negara bagi setiap warga negara yang sampai saat ini masih banyak yang belum memahami arti penting kuatnya pertahanan bagi suatu negara
Ron Matthews & Annie Maddison (ed.), Internatioal Defence Management Studies 2002, (London : Cranfield University Press), hlm. 67-69.

Daftar Pustaka
Ron Matthews & Annie Maddison (ed.), Internatioal Defence Management Studies 2002, (London : Cranfield University Press)
Dennis M. Drew & Donald M. Snow, Menyusun Strategi, terjemahan, (Jakarta : Pusdiklat Bahasa Dephan, 2005).
Wee Chow, Lee Khai Sheang & Bambang Wlujo Hidayat, Sun Tzu : Perang dan Manajemen, (Jakarta : Gramedia, 1992).
Edward N. Luttwak, Strategy : The Logic of War and Peace, (Harvard : Harvard University Press, 1987).
Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post cold war Era, (New york : harvester Wheatsheaf, 1991).
William R. Polk, Neighbors and Stranger : The Fundamentals of Roreign Affairs, (Chicago : Chicago University Press, 1997).
Colin S. Gray, Policy, Strategy & Military Technology : Weapons Don’t Make War, (Kansas : University Press of Kansas, 1993).
Barry Buzan, An Introduction to Strategies Studies, (London : Macmillan Press, 1990).
Wan Usman, Modul Manajemen Strategik, (Jakarta : Program Ketahanan Nasional Pascasarjana UI, 2002).
UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
UU Nomo 34 Tahun 2004 Tentang TNI
Keppres RI No. 59/1983 dan No. 50/1986 Tentang Industri Strategis
Kepres RI No. 40 Tahun 1999 Tentang Dewan Pembina Industri.

Biodata Penulis
Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si, Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNJANI, Ketua Pusat Kajian Kepemerintahan dan Kemasyarakatan (PK3) FISIP UNJANI, Staf Peneliti Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) UNJANI, dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung.

Categories: Kajian TNI | 18 Comments

IMPLEMENTASI RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (RANHAM) 2004-2009


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Abstrak
Tulisan ini ingin mengangkat implementasi RANHAM 2004-2009 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjamin keberlangsungan hak asasi manusia di tengah masyarakat sebagaimana amanat dalam UUD 1945. Dalam praktek di lapangan, implementasi RANHAM di berbagai daerah menghadapi persoalan mendasar, mulai dari keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, anggaran, dan lemahnya koordinasi antar stakeholder terkait. Oleh karena itu, diperlukan alternatif solusi yang kongkret agar supaya implementasi RANHAM 2004-2009 berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan.
Kata Kunci : Hukum, HAM, dan RANHAM.

A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan YME wajib dihormati dan dijunjung tinggi demi harkat dan martabat manusia. Komitmen Indonesia dalam penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di seluruh wilayah Indonesia bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 yang di rumuskan sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal HAM oleh PBB pada tahun 1948. Indonesia menyambut baik kerjasama Internasional dalam upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di seluruh dunia. Kerjasama Internasional di bidang HAM juga harus berdasarkan pada, prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat dan hubungan baik antar bangsa serta hukum Internasional yang berlaku dengan memperhatikan kepentingan nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku.
Pemajuan dan perlindungan HAM telah menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang berlangsung. Bangsa Indonesia melalui wakil-¬wakilnya di MPR telah mengambil suatu sikap yang lebih tegas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengesahkan ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat Piagam HAM, diikuti dengan perubahan kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal–pasal yang secara rinci dan tegas mengatur tentang pemajuan dan perlindungan HAM.
Untuk lebih melindungi dan memajukan HAM, Pemerintah telah mengesahkan Undang Undang HAM No.39 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM antara lain disusunnya prioritas pembangunan nasional Tahun 2000-2004 (Propenas), dibentuk Komnas HAM, pembentukan Komnas Perempuan, Komnas Anak, pembentukan Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan sebagainya.
Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya trafficking yaitu dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden No. 87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A).
Dalam hal kelembagaan, Komisi Nasional HAM telah dibentuk pada tahun 1993 dengan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No.39 tahun 1999, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah dibentuk pada tahun 1998 dengan Keputusan Presiden No.181 tahun 1998, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibentuk pada tahun 2003 melalui Keputusan Presiden No. 77 tahun 2003.
Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Tahun 1998 – 2003 dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya tercapai, hal ini terutama disebabkan adanya kendala dinamika perubahan sosial dan politik yang begitu cepat dalam 5 (lima) tahun terakhir dan juga belum ada Panitia Pelaksana Daerah dalam Pelaksanaan RANHAM di daerah setelah diberlakukan UU Otonomi Daerah.
Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 40 tahun 2004 telah mengesahkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) Indonesia Kedua tahun 2004 – 2009 yang merupakan kelanjutan dari RAN HAM Indonesia Pertama tahun 1998 – 2003. Sebagai kelanjutan dari RAN HAM Tahun 1998-2003, maka rencana yang belum diselesaikan pada periode yang lalu akan dilanjutkan pada periode berikutnya.
RANHAM Indonesia disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. RANHAM Indonesia juga dimaksudkan sebagai panduan dan rencana umum dengan kerangka waktu yang jelas untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM, termasuk untuk melindungi masyarakat yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Kelompok rentan mendapat perlakuan khusus agar kepentingan mereka dapat terakomodasi dengan baik dalam pelaksanaan RANHAM tahun 2004-2009.
Enam program utama RANHAM Kedua tahun 2004 – 2009, yaitu: (1) Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM; (2) Persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional ; (3) Persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan; (4) Diseminasi dan pendidikan HAM; (5) Penerapan norma dan standar HAM ; (6) Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Berbagai kerjasama Internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Penyelenggaraan Lokakarya HAM Regional Kedua untuk kawasan Asia Pasifik tahun 1993 dan MoU Pemerintah Republik Indonesia dengan Komisi Tinggi HAM PBB di bidang kerjasama teknik di bidang HAM tahun 1998. Di tingkat ASEAN, sejak tahun 1993 Indonesia menjadi salah satu pelopor bagi upaya pembentukan mekanisme HAM ASEAN dan telah dua kali menjadi tuan rumah Lokakarya Kelompok Kerja Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN. Indonesia juga mendorong kerjasama bilateral dalam upaya pemajuan HAM dengan Kanada, Norwegia dan Perancis, dalam rangka ASEM (ASEAN European Meeting) bersama Swedia, Perancis dan China serta kerjasama multilateral bersama China, Kanada dan Norwegia.
Kelompok masyarakat yang dinilai rentan terhadap pelanggaran HAM adalah: anak, remaja, wanita, buruh, manusia lanjut usia, masyarakat adat, penyandang cacat, kelompok minoritas, kelompok orang miskin, tahanan, narapidana, petani dan nelayan. Kelompok rentan ini perlu mendapat perhatian khusus agar kepentingan mereka dapat terakomodasi dengan baik dalam pelaksanaan RANHAM. Pelaksanaan RANHAM sejak tahun 1998 hingga saat ini dimaksudkan untuk memperkuat budaya penghormatan hak asasi manusia sebagai sendi-sendi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju masyarakat adil dan makmur.

B. Ratifikasi Konvensi Internasional HAM
Dalam rangka memperkuat perangkat hukum tentang HAM, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, diantaranya adalah :
1. International Convention on the Elimination all forms Discrimination Against Women (Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979). Diratifikasi dengan Keputusan UU No. 7/1984, tanggal 24 Juli 1984.
2. International Convention on the Political Rights of Women (Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Wanita tahun 1953). Diratifikasi dengan UU No. 68/1998, tanggal 17 Juli 1998.
3. International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degra-ding Treatment or Punishment (Konvensi Internasional menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Lainnya tahun 1984). Diratifikasi dengan UU No. 5, tanggal 28 September 1998.
4. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial). Diratifikasi dengan UU No. 29/1999, tanggal 25 Mei 1999.
5. Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 21 Desember 1965, diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999.
6. Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 16 Des 1966, diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005
7. Konvensi Internasional Hak-Hak Sosial dan Politik, 16 Desember 1966, diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005.
8. International Convention on the Rights of Child (Konvensi Internasional tentang Hak – Hak Anak tahun 1989). Diratifikasi dengan Kepres No. 36/1990, tanggal 25 Agustus 1990.
9. International Convention Against Apartheid in Sport (Konvensi Internasional Anti-Apartheid dalam Olah Raga). Diratifikasi dengan Kepres No. 48/1993, tanggal 26 Mei 1993.
10. Konvensi Hak-Hak Anak, 20 November 1989, diratifikasi dengan Keppres No. 36 Tahun 2000.

C. Gambaran Umum Implementasi RANHAM 2004-2009
Dalam mengimplementasikan RANHAM 2004 – 2009, panitia pelaksana RANHAM di daerah, baik di tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota tentunya tidak terlepas dari berbagai persoalan mendasar yang dihadapinya. Implementasi RANHAM 2004 – 2009 tidak semulus dan selancar yang dibayangkan, melainkan sangat komplek persoalan yang menghadang.
Kondisi nyata (existing condition) pelaksanaan, pemajuan, penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia ditinjau dari aspek implementasi RANHAM 2004 – 2009 masih cukup memprihatinkan. Implementasi RANHAM 2004 – 2009 di berbagai daerah masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan. RANHAM 2004 – 2009 yang terdiri dari enam butir belum dapat sepenuhnya dilaksanakan secara konsisten oleh panitia pelaksana RANHAM di Daerah.
Masih ada daerah yang belum terbentuk panitia pelaksana RANHAM, masih ada panitia pelaksana RANHAM yang kurang responsif mereview terhadap Perda-Perda yang bertentangan dengan HAM, sosialisasi dan pelatihan HAM yang masih lemah, belum dibuatnya standar HAM sesuai karakteristik daerah dan budaya lokal, serta masih ada panitia pelaksana RANHAM yang tidak membuat laporan tahunan dan tidak menyampaikannya kepada publik.
Persoalan mendasar dalam pelaksanaan, pemajuan, penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia ditinjau dari aspek implementasi RANHAM 2004 – 2009 adalah Alokasi Anggaran Implementasi RANHAM Di Daerah Yang Terbatas, Perbedaan Pemahaman Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Melihat Urusan HAM Di Era Otonomi Daerah, Persepsi Dan Pemahaman Tentang HAM Antar Lembaga / Badan / Instansi terkait Yang Berbeda-Beda, Koordinasi Lembaga / Badan / Instansi Terkait Di Daerah Dalam Implementasi RANHAM Yang Masih Lemah, Sosialisasi RANHAM Kepada Lembaga / Badan / Instansi Terkait Di Daerah Yang Masih Lemah, dan Sosialisasi RANHAM Kepada Masyarakat Di Daerah Yang Masih Lemah.
Selain itu, persoalan lain yang dihadapi dalam implementasi RANHAM 2004-2009 adalah Sumber Daya Manusia Dalam Kepengurusan dan Keanggotaan Panitia Pelaksana RANHAM Di Daerah Yang Masih Terbatas, Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Kurang Memberikan Prioritas Pada RANHAM, Sarana dan Prasarana Di Tingkat Sekretariat RANHAM Yang Masih Terbatas, Belum Adanya Pedoman Tentang Pembentukan Pokja-Pokja RANHAM Di Daerah, Belum Adanya Buku Panduan Tupoksi Panitia Pelaksana RANHAM Di Daerah, Tingkat Pendidikan Masyarakat Yang Masih Rendah, Budaya / Kultur / Adat Istiadat / Kebiasaan Masyarakat Yang Kurang Mendukung, dan kekhasan atau karakteristik daerah dalam melaksanakan HAM dan RANHAM.
Masing-masing daerah mempunyai karakteristik / kekhasan dalam masalah HAM. Di daerah NAD, yang menonjol dan menjadi ciri khas HAM adalah hak-hak politik yang didasarkan pada nilai-nilai agama, khususnya agama Islam dengan keinginan agar supaya syariat Islam dijalankan secara konsisten sebagai hak asasi manusia yang paling utama. Di Sulawesi Tengah, yang menjadi kekhasan di tengah masyarakat adalah hak-hak penghidupan yang layak karena kondisi kemiskinan dan pengagguran yang relatif besar di daerah ini, termasuk pula kondisi kesejahteraan masyarakat pasca konflik di daerah Poso, terutama yang ada di pengungsian.
Di Ambon, yang menjadi ciri khas adalah hak-hak sosial para korban konflik yang menuntut keadilan sosial dan penghidupan yang manusiawi, khususnya para anak dan ibu yang ditingggalkan oleh bapak dan suaminya. Di Papua, yang menonjol adalah tuntutan masyarakat untuk mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal setempat, hak-hak otonomi, hak-hak politik dan hak hidup yang layak bagi seluruh masyarakat Papua. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat bahwa proses pembangunan yang dijalankan mengalami ketimpangan dan hanya berpusta di kota-kota saja, sehingga masyarakat di pedalaman, pegunungan dan pesisir serta perbatasan menjadi terpinggirkan secara ekonomi, politik dan sosial.

D. Alternatif Solusi dan Rekomendasi Implementasi RANHAM 2004-2009
Solusi / jalan pemecahan yang dapat dirumuskan sebagai rekomendasi yang bersifat strategis, praktis dan teknis dalam mengatasi persoalan mendasar yang timbul dalam pelaksanaan, pemajuan, penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia ditinjau dari aspek implementasi RANHAM 2004 – 2009 adalah pengalokasian anggaran yang layak, peningkatan sumber daya manusia, pemenuhan sarana prasarana, penyusunan piranti lunak, dan penguatan koordinasi dan komunikasi antar panitia pelaksana RANHAM, baik di tingkat pusat, propinsi, kabupaten / kota.
Sedangkan rekomendasi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam mengimplementasikan RANHAM 2004-2009 adalah sebagai berikut :
1. Kepada Pemerintah, dalam hal ini, Presiden, agar supaya dalam membuat Kepres yang baru, melanjutkan Kepres No. 40 Tahun 2004 Tentang RANHAM 2004 – 2009, yang akan habis masa berlakunya sebentar lagi, memasukkan secara detail tentang alokasi anggaran, sumber daya manusia, piranti lunak, koordinasi dan komunikasi, serta sosialisasi, pelatihan dan simulasi sehingga akan dapat dijadikan patokan bagi panitia RANHAM dalam mengimplementasikan RANHAM selanjutnya.
2. Kepada Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dalam hal ini Menkopolhukam, agar supaya melakukan koordinasi dan sinkronisasi terhadap kebijakan implementasi RANHAM pada tingkat lembaga-lembaga negara (khususnya kepada departemen, kementrian, dan lembaga yang berada di bawah koordinasinya) sehingga akan mengakselerasi dan mensinergi formulasi kebijakan yang dapat dijadikan bahan pembuatan kebijakan Pemerintah dalam rangka penyelesaian pelaksanaan perlindungan, pemajuan dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
3. Kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Agama untuk membuat Peraturan Bersama sehingga memiliki payung hukum yang kuat yang dapat dijadikan sebagai pegangan dan panduan bagi Pemerintah Daerah, Kanwil Hukum dan HAM, Kanwil Agama, dan Dinas Pendidikan di daerah untuk bersama-sama bersinergi melaksanakan RANHAM secara konsisten.
4. Kepada Pemerintah Daerah dan DPRD agar supaya menyadari tentang pentingnya implementasi RANHAM bagi kepentingan daerah, baik dalam pelayanan masyarakat, pembangunan daerah, dan kesejahteraan rakyat sehingga harus didukung dengan anggaran, sarana prasarana, personil dan koordinasi intensif dalam panitia pelaksana RANHAM di daerah.
5. Kepada Panitia RANHAM, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, agar supaya mengkaji nilai-nilai kearifan lokal, nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai budaya masyarakat, dan karakter masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengimplementasikan RANHAM di setiap daerah. Ciri khas, kekhasan, dan hal-hal yang menonjol di masing-masing daerah harus dijadikan perhatian sehingga dalam tataran operasional di lapangan, implementasi RANHAM di masing-masing daerah tentunya dapat berbeda-beda disesuaikan dengan karakteristik masyarakat, kondisi geografi dan kebiasaan yang berkembang di wilayah masing-masing.
6. Kepada Masyarakat, khususnya yang tergabung dalam kepanitiaan RANHAM, agar supaya pro aktif dan responsif dalam melakukan pendekatan intensif kepada elemen masyarakat melalui komunikasi sosial dan silaturahmi, untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya penghormatan nilai-nilai HAM sehingga akan mendorong masyarakat untuk mendukung program dan kegiatan implementasi RANHAM secara berkelanjutan dan berkesinambungan.

Catatan Kaki

Subian Syahrano, HAM : Paradigma, Isu, dan Praktek Internasionalnya, Jakarta, Grafiti Pres, 2004, hal. 23-24
Harkristuti Harkrisnowo, Perlu Kerjasama Untuk Implementasikan HAM, Majalah Hukum dan HAM Ditjen HAM Depkumham, Vol. 5 No. 24. Tahun 2003
Kuncoro Heru Utomo, Pelaksanaan HAM di Indonesia Di Era Reformasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal. 167.
Ibid., hal. 221 – 223
Ibid., hal. 229 – 230
Martina Siregar, Dimensi Internasional HAM, Yogyakarta, Kanisius, 2003, hal. 14 – 16.

Daftar Pustaka
Abdullah, Rozali & Syamsir (2002), Perkembangan HAM dan Keberadaan HAM di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia)
Efendi, H. A. Masyur, (1994). Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia : Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Harahap, Krisna (2003), HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, (Bandung : Grafitri Budi Utami)
Harkrisnowo, Harkristuti, (Vol. 5 No. 24). Perlu Kerjasama Untuk Implementasikan HAM, Majalah Hukum dan HAM Ditjen HAM Dephukham.
Nainggolan, Poltak, (2004). Ratifikasi HAM Internasional dan Dampaknya Bagi Penegakkan HAM di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Nielefeldt, Heiner, “Hak Asasi Manusia : Kuda Troya Rekolonisasi”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 8, Tahun II, 2001
Prasetyono Edy, (1992). Hak Asasi Manusia Dalam Hubungan Internasional, Jakarta : CSIS.
Siregar , Martina, (2003). Dimensi Internasional HAM, Yogyakarta, Kanisius.
Syahrano, Subian, , (2004). HAM : Paradigma, Isu, dan Praktek Internasionalnya, Jakarta, Grafiti Pres.
Utomo, Kuncoro Heru, (2004). Pelaksanaan HAM di Indonesia Di Era Reformasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Pasal 4 ayat (1), 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, dan 28J Tentang HAM dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya.
TAP MPR No. XVII / MPR / 1998 Tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi

Categories: Studi Politik | Leave a comment

KEBANGSAAN MULTIKULTURAL : STRATEGI MENGHADAPI DISINTEGRASI BANGSA


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

“Ia bukan nasionalisme jang timbul dari kesombongan belaka; ia adalah nasionalisme jang lebar, – ia adalah nasionalisme jang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwajat; ia bukanlah “jingo-nasionalisme” atau chauvinism, dan bukanlah suatu copie atau tiruan dari pada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, jang menerima rasa hidupnya sebagai suatu wahju, dan mendjalankan rasa hidupnja itu sebagai suatu bakti…..Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an, jang, …..adalah “suatu nasionalisme jang menjerang-jerang, suatu nasionalisme jang mengdjar sendiri, suatu nasionalisme perdagangan jang untung atau rugi”,…..Nasionalisme kita adalah nasionalisme jang membuat kita mendjadi “perkakasnya Tuhan”, Nasionalisme kita menjadi “hidup dalam Roch.”(Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, (Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1959), hlm. 112 – 113).
A. Pengantar
Semangat kebangsaan Indonesia mulai mengkristal dan mencapai tahapan yang baru sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sejak saat itu, para pemuda Indonesia bersepakat untuk berikrar tentang satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia. Gugusan kepulauan Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis dan suku dinyatakan menjadi sebuah bangsa yang disebut bangsa Indonesia. Meskipun demikian, gagasan awal yang mendorong munculnya Sumpah Pemuda ini dapat ditelusuri sejak lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908.
Komitmen nasional dalam kerangka Sumpah Pemuda kemudian menjadi dasar yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Barat pada tanggal 17 Agustus 1945 yang terepresentasikan oleh Soekarno dan Hatta. Sejak saat itulah, bangsa Indonesia berdiri kokoh sebagai sebuah negara bangsa atau nation state yang berdaulat dan tidak diintervensi oleh pihak asing manapun.
Konsepsi kebangsaan “Bhineka Tunggal Ika” yang merupakan salah satu senyawa dari ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila, merupakan sebuah cerminan betapa Indonesia menghargai dan menghormati perbedaan, keragaman, dan kemajemukan dalam kerangka persatuan dan kesatuan Indonesia. Para “founding father” bangsa Indonesia sangat menyadari bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk karena didasarkan pada persamaan nasib, persamaan sejarah, dan persamaan perjuangan. Artinya, nasib, sejarah, dan perjuangan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke inilah yang mendorong terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, bukan persamaan etnis, suku, agama, dan golongan yang melahirkan Indonesia.
Dalam kontkes inilah, semangat kebangsaan yang menghargai perbedaan, kemajemukan, pluralisme dan keanekaragaman harus dijunjung tinggi dan ditanamkan secara simultan kepada anak cucu generasi penerus bangsa Indonesia agar supaya mereka menyadari hakekat bangsa Indonesia yang luas dan bervariasi ini.
Hal ini sangat penting mengingat saat ini ada kecenderungan dikalangan generasi penerus bangsa Indonesia mulai menipis semangat kebangsaan dan bahkan tidak tahu makna dan hakekat dari “perbedaan dalam kesatuan” yang dilahirkan oleh bapak pendiri bangsa Indonesia ini. Maraknya konflik politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan massal yang terjadi di Indonesia pada penghujung abad 20 ini telah mengindikasikan mulai menguatnya gejala disintegrasi bangsa yang bermuara pada gerakan-gerakan separatisme secara sporadis dibeberapa daerah di Indonesia.
Makalah singkat ini sebenarnya ingin menjawab beberapa pertanyaan berikut ini : Apa yang dimaksud dengan kebangsaan? Bagaimana kondisi kebangsaan Indonesia saat ini? Faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kebangsaan Indonesia? dan solusi apa yang dapat digunakan untuk menumbuhkan semangat kebangsaan dalam rangka menghadapi dan menangkal gejala disintegrasi bangsa?. Semua pertanyaan di atas akan dicoba dijawab dalam uraian berikut ini.

B. Mengkerangkai Kebangsaan
Dalam bahasa Inggris, kata Kebangsaan disebut dengan “Nationality”. Berbicara kebangsaan pasti akan terkait dengan nasionalisme. Dan berbicara tentang nasionalisme tentu sangat berkait dengan dua konsep penting, yakni negara (nation) dan bangsa (state). Ketiga-tiganya adalah konsep-konsep penting yang menjadi semacam kata kunci (key word) dalam memperbincangkan masalah semangat kebangsaan. Oleh karena itu, alangkah lebihnya apabila kita membedah konsepsi nasionalisme baik secara definisi, karakteristik maupun pola-polanya yang sangat unik.
Ada banyak sekali pandangan dari berbagai ilmuwan politik tentang pengertian dan asal-usul dari nasionalisme. Namun demikian, untuk kepentingan tulisan ini, hanya akan diuraikan pendapat dari beberapa ilmuwan politik tersebut.
Menurut Gooch , nasionalisme adalah merupakan kesadaran diri suatu bangsa. Nasionalisme adalah ikatan emosional dan refleksi hakiki antar entitas dalam suatu bangsa. Nasionalisme telah berkembang sejak akhir abad ke-18.
Menurut Greenfeld dan Chirot , istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, linguistik, teritorial, kelas, gender, dan lain-lain.
Menurut Alonso , nasionalisme merupakan efek dari totalisasi dan homogenisasi program pembentukan negara. Melalui program ini, diperoleh satu perasaan kebersamaan politik yang didambakan yang menggabungkan kerakyatan, teritorial dan negara. Tetapi, dalam pembentukan negara, muncul pula kategori-kategori diri sendiri dan orang lain di dalam satu kepolitikan.
Menurut Emerson , nasionalisme merupakan konsep yang dimuncul sebagai tanggapan terhadap kekuatan yang datang dari Barat. Kolonialisme Barat terhadap negara-negara sedang berkembang pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-20 telah menstimulan munculnya semangat dan rasa nasionalisme dikalangan komunitas masyarakat dari negara sedang berkembang dalam rangka melakukan perlawanan perjuangan melawan penjajah.
Menurut Kedourie , nasionalisme adalah doktrin yang berpretensi untuk memberikan suatu kriteria dalam menentukan unit penduduk yang ingin menikmati satu pemerintahan eksklusif bagi dirinya, untuk melegitimasi pelaksanaan kekuasaan dalam negara, dan untuk memberikan hak mengorganisasikan suatu masyarakat negara. Dengan kata lain, doktrin ini beranggapan bahwa secara alamiah, komunitas dibagi menjadi bangsa-bangsa, bahwa bangsa dikenal mempunyai karakteristik khusus yang dapat ditentukan; dan bahwa corak pemerintahan yang sah hanyalah self-government.
Menurut Smith , nasionalisme adalah satu gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja. Dengan cara pandang demikian, ada dua jalan menuju nasionalisme. Pertama, route gradualis : patriotisme negara, kolonisasi, dan provinsialisme. Kedua, route nasionalis : nasionalisme etnis, nasionalisme teritorial, mobilisasi, komunitas yang berbudaya dan surrogate agama.
Menurut Minogue , nasionalisme merupakan gerakan politik untuk memperoleh dan mempertahankan integritas politik, yakni gerakan politik yang didasarkan pada perasaan tidak puas sekelompok orang menentang orang asing.
Menurut Snyder , nasionalisme merupakan satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak Revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial tertentu.
Menurut Gellner , nasionalisme terutama merupakan satu prinsip politik, yakni teori legitimasi politik yang memerlukan batas etnis yang tidak melintasi politik. Dengan kata lain, nasionalisme adalah satu perjuangan untuk membuat budaya dan “kepolitikan” menjadi bersesuaian. Lebih dari itu, nasionalisme adalah pemaksaan umum satu budaya tinggi kehidupan masyarakat, dimana budaya rendah sebelumnya telah mengangkat kehidupan mayoritas dan dalam beberapa kasus keseluruhan penduduk.
Menurut Jack C Plano dan Roy Olton , nasionalisme adalah semangat memiliki bersama, atau sifat dari keinginan untuk berusaha mempertahankan identitas kelompok dengan melembagakan dalam bentuk sebuah negara. Nasionalisme dapat diperkuat oleh ikatan persamaan ras, bahasa, sejarah, dan agama ; dan nasionalisme selalu terpaut dengan wilayah tertentu. Konsep nasionalisme dapat pula dianggap sebagai sebuah fungsi kemampuan sekelompok masyarakat tertentu untuk berkomunikasi di antara mereka dengan lebih baik dibanding kelompok masyarakat lainnya.
Masih terkait dengan nasionalisme, terdapat pula tahapan nasionalisme. Menurut Minogue , terdapat tiga tahap nasionalisme, yakni : Pertama, Stirrings. Artinya, pada tahap ini bangsa menjadi sadar akan dirinya sebagai bangsa yang mengalami penderitaan berupa tekanan-tekanan, yaitu era perubahan cepat melawan gagasan asing dan cara hidup asing dalam mengerjakan segala sesuatu. Kedua, tahap centre-piece nasionalisme. Masksudnya, adalah masa perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Ketiga, tahap konsolidasi. Yaitu yang pada masa sekarang ini difokuskan pada konsolidasi ekonomi.
Sementara itu, corak nasionalisme juga bermacam-macam. Hal ini dapat terlihat dari pendapat dari beberapa ilmuwan politik berikut ini. Menurut Plamenatz , nasionalisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu nasionalisme Barat dan nasionalisme Timur. Nasionalisme Barat adalah nasionalisme yang berada di dalam masyarakat yang telah maju, sebagai upaya mengatasi situasi yang tidak menguntungkan. Sedangkan nasionalisme Timur adalah nasionalisme yang didesain untuk mengatasi keterbelakangan dengan cara meniru Barat, tetapi memusuhi Barat. Nasionalisme Timur ini tidak bersifat liberal.
Berbeda dengan Plamenatz, Tilly mengatakan bahwa ada dua corak nasioanalisme, yakni nasionalisme yang dipimpin oleh negara dan nasionalisme yang diusahakan oleh negara. Nasionalisme yang diusahakan oleh negara menempatkan wakil rakyat yang belakangan ini tidak mempunyai kontrol kolektif setelah suatu negara menuntut satu status politik otonom atau bahkan negara yang terpisah, dengan alasan bahwa penduduk memiliki identitas budaya yang jelas dan koheren.
Di samping itu, Lind membagi dua tipe nasionalisme, yakni nasioalisme liberal yang menjunjung tinggi kebangsaan dari sudut pandang kebahasaan budaya dan perlunya suatu konstitusi liberal organisasi negara, dan nasionalisme “illiberal” yang berdasarkan pada kebangsaan menurut garis agama atau etnis, seperti terdapat di Iran dan Serbia yang biasanya mengandalkan konstitusi populis-otoritarian.
Pentipologian nasionalisme yang lebih lengkap dan kritis dapat dilihat dalam studi menyeluruh yang dilakukan oleh Hall. Secara umum, Hall menyatakan bahwa nasionalisme terbagi dalam dua tipe, yakni nasionalisme klasik dan nasionalisme modern. Hall kemudian memetakan lima pola nasionalisme, yaitu : (1) nasionalisme dengan tolak ukur logika masyarakat “asosial”; (2) Revolusi dari atas yang diilhami oleh pemikiran Barington Moore; (3) keinginan dan kekhawatiran yang dipantulkan oleh oportinitas ; (4) Nasionalisme resorgimento ; (5) nasionalisme terpadu.
Sejarah lahirnya nasionalisme sendiri muncul pertama kali di Eropa Barat pada abad ke-18 dimana saat itu meletus Revolusi Perancis 1789. nasionalisme mulai mendapatkan tempat dalam komunitas politik setelah terjadinya Perang Napoleon dan Konferensi Wina 1815 yang dipelopori oleh Pangeran Austria, Von Meternich, sekaligus mengakhiri agresifitas kekusaan Napoleon.
Sampai saat ini, masih menjadi perdebatan apakah nasionalisme telah menjadi ideologi atau tidak. Namun demikian, terlepas dari itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa nasionalisme tidak menjadi ideologi ampuh sampai sekarang ini.
Sebagai ideologi, nasionalisme dapat memainkan tiga fungsi, yaitu : (1) mengikat semua kelas; (2) membangun atau memperkokoh pengaruh terhadap kebijakan yang ada di dalam kursi utama ideologi nasional; (3) ideologi nasionalisme tidak condong ke kanan atau ke kiri.
Berkaitan dengan kebangsaan / nasionalisme dan negara, dibawah ini akan dipaparkan secara detail perbedaan di antara keduanya.

NO KEBANGSAAN NEGARA
1 Bersifat subyektif Bersifat obyektif
2 Karakternya politis Karakternya psikologis
3 Wujudnya adalah satu keadaan berpikir Wujudnya adalah berdasar logika hukum
4 Bermakna spiritual Kewajiban yang dapat dipaksakan.
5 Cara untuk merasakan, berpikir, dan hidup Keadaan yang tidak dapat dipisahkan dari cara hidup yang berperadaban
C. Krisis Kebangsaan Indonesia
Bagaimana kondisi kebangsaan Indonesia saat ini? Pertanyaan ini sangat menggelitik dan kalau kita mengetahui jawabannya maka kita akan merasa sedih sekaligus khawatir karena sebenarnya saat ini Indonesia mengalami krisis kebangsaan. Namun demikian, sangat sedikit manusia Indonesia yang menyadari akan bahaya dari krisis kebangsaan ini.
Menurut Samuel P. Huntington , dunia saat ini menghadapi gejala fenomena meningkatnya kesadaran identitas etnis, kultural, serta agama. Modernisasi dan globalisasi dibawah payung ideologi kapitalisme global telah mendorong masyarakat untuk memperkecil jati diri mereka dan menguraikannya kembali dengan pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit dan primodial.
Tesis Huntington ini sangat terasa sekali di Indonesia dimana sampai saat ini, terdapat indikasi menguatnya gejala menguatnya kembali semangat kembali ke etnisitas sempit yang mengarah pada fanatisme primordial sehingga sangat rentan akan munculnya konflik dan kekerasan antar etnik. Meletusnya kerusuhan di Singkawang, Poso, Maluku dan beberapa daerah lainnya merupakan bukti nyata dari semangat menuju ke etnisitas sempit yang cenderung “chauvinisme”.
Kondisi demikian diperparah lagi dengan adanya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan diri dari bangsa Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dan Organisasi Papua Merdeka di Papua merupakan contoh kongkret dari adanya kecenderungan meningkatnya gerakan disintegrasi bangsa. Kedua wilayah ini terinspirasi oleh lepas dan merdekanya Timor Timur dari bangsa Indoensia lewat jajak pendapat tahun 1999 lalu.
Selain itu, banyak kalangan awam dalam masyarakat , khususnya yang tidak peduli dengan masalah sosial budaya, tidak menyadari bahwa pola kehidupannya sehari-hari telah didominasi oleh kultur asing yang pada tahap-tahap tertentu tidak sesuai dengan budaya lokal dan nasional. Mereka tidak sadar bahwa dilingkungan sekitarnya telah terjadi proses uniformitas budaya. Mereka larut dan terbius oleh arus budaya pop dan lyfe style yang lagi nge-trend. Padahal, mereka tidak memahami makna dan substansi dari penampilan budaya yang demikian.
Ancaman hegemoni budaya (culture hegemony) yang tersembunyi dibalik gelombang globalisasi semakin kuat terasa di era modern sekarang ini. Pada hakikatnya, hegemoni budaya ini sangat berlawanan dengan multikulturalisme yang lebih menekankan pada pluralitas dan heterogenitas budaya sebagai sebuah mozaik dan kekayaan bangsa. Hegemoni budaya ingin melakukan proses pendominasian budaya yang beranekaragam itu dalam kendalinya. Tentunya, gejala yang demikian sangat membahayakan eksistensi budaya-budaya yang lain.
Secara historis, hegemoni budaya yang saat ini sedang gencar-gencarnya dipropagandakan oleh Barat melalui media globalisasi telah ada sejak masa kolonialisme dan imperialisme. Jika pada abad ke-19, kedatangan bangsa-bangsa Barat membawa modernisasi hadir bersamaan dengan perluasan kapitalisme dan kolonialisme politik serta ekonomi, maka pada penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21, kehadiran budaya universal juga ikut membawa muatan budaya dan peradaban Barat. Gejala seperti ini menurut Huntington akan menimbulkan titik picu bagi konflik atau benturan peradaban dengan kebudayaan-kebudayaan lain.
Saat ini, proses hegemoni budaya sebenarnya telah melanda kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara baik yang berdimensi politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politis, Demokrasi liberal Barat telah menjadi model yang didambakan setiap negara dalam sistem kenegaraannya. Secara ekonomi, kapitalisme global Barat selalu menjadi referensi bagi negara yang ingin maju pertumbuhan ekonominya. Dan secara sosial, masyarakat telah terkooptasi oleh nilai-nilai individualisme Barat, hedonisme, dan konsumerisme. Ini semua tentu sangat berlawanan dengan budaya mereka sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran. Ketidakberdayaan melawan gempuran luar dan ketidakberanian menampilkan identitas budaya sendiri akan mengakibatkan suatu entitas sosial menjadi korban dari hegemoni budaya.
Fenomena semacam itulah yang kemudian disinyalir sebagai ancaman baru penjajahan Barat terhadap Negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Atau dalam bahasa ilmiahnya, inilah yang dinamakan dengan neo kolonialisme dan neo imperialisme. Oleh Kepala Staf TNI AD, Jenderal Ryzamizard Ryacudu, inilah yang kemudian disebut dengan istilah “Perang Modern”.
Kita semua tentunya tidak mau kejadian yang menimpa Uni Soviet yang hancur berkeping-keping menjadi belasan negara dan nasib tragis Yugoslavia yang mengalami kehancuran menjadi beberapa negara hanya gara-gara nasionalisme sempit dan fanatisme primordialisme yang berlebihan. Patut kiranya diwaspadai kejadian yang menimpa Uni Soviet dan Yugoslavia mengingat adanya prediksi dari futurolog dunia, John Naisbit, yang meramalkan bahwa dimasa depan, jumlah negara bisa mencapai 200 sampai 600. Lebih jauh, Naisbit menyatakan bahwa Indonesiapun tidak tertutup kemungkinan akan terpecah menjadi 3.000 negara. Ramalan yang belum tentu benar ini sudah selayaknya kita perhatikan dan diupayakan sebuah formula untuk mengantisipasinya.
D. Penetrasi Asing, Globalisme dan Lokalisme.
Faktor apa saja yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami krisis kebangsaan? Jawaban atas pertanyaan penyebab krisis kebangsaan ini adalah faktor eksternal/asing dan faktor internal/domestik. Yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor penyebab yang berasal dari luar, yakni adanya penetrasi asing berupa globalisasi, dan faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam, yakni gerakan etnisitas yang muncul karena dampak dari penetrasi asing dan globalisasi. Namun demikian, menurut penulis, faktor eksternal adalah faktor yang pertama dan paling berpengaruh dalam mempengaruhi krisis kebangsaan Indonesia. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang ikutan saja.
Dalam sejarah perkembangannya, globalisasi merupakan suatu mata rantai dan mempunyai persentuhan proses dengan kolonialisme dan imperilaisme di abad ke-16 sampai ke-19, modernisasi diabad ke-20, dan kapitalisme global dipenghujung abad ke-20. Kecanggihan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi mendorong globalisasi mengalami percepatan yang luar biasa pesat.
Menurut Anthony Giddens (1999) , globalisasi telah melahirkan ruang sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan interkoneksi yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan negara. Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak siginfikan. Pertama, mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa sebagai hasil dari pergulatan antara kedaulatan negara versus kapitalisme global. Pola “tekanan ke atas” penetrasi globalisasi ini cenderung mengarah pada integrasi sosial-budaya dibawah naungan kultur Barat sebagai kultur yang dominan.
Kedua, pola “tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah membuka katub-katub peluang bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local culture) yang selama ini sedang terbuai oleh kemasan ikatan nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara bangsa. Lokalitas dan kultur monolitik yang mendasarkan diri pada etnisitas, kesukuan, dan primordialisme ini mulai meneguhkan diri vis to vis identitas nasional yang saat ini mengalami pengenduran. Secara politis, gejala ini diindikasikan dengan merebaknya tuntutan dari berbagai daerah atau wilayah yang ingin melepaskan diri dari ikatan negara bangsa. Gerakan separtisme dan disintegrasi bangsa, khususnya yang saat ini melanda indonesia merupakan salah satu contoh dari penetrasi globalisasi jenis ini.
Ketiga, pola “desakan ke samping”. Artinya, kecenderungan penetrasi globalisasi telah menciptakan domain ekonomi dan kultural baru yang melintasi batas-batas negara bangsa yang selama ini ada. Penetrasi globalisasi yang membawa slogan-slogan liberalisme pasar dan perdagangan bebas telah membawa Dunia pada blok-blok perdagangan dan aliansi-aliansi ekonomi yang terbungkus dalam kapitalisme global. Lahirnya Uni Eropa merupakan contoh kongkret dari gelombang sentrifugal globalisasi.
Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi ini menimbulkan suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan gerak meluas ke wilayah global melalui teknologi komunikasi dan informasi. Namun di sisi lain, globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses uniformitas nilai yang mengarah pada hegemoni budaya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola pentrasi asing yang dibungkus dalam kemasan globalisasi telah menimbulkan distorsi ekonomi yang ditandai dengan kemiskinan, kesenjangan, dan ketimpangan, distorsi politik yang ditandai dengan konflik, kekerasan dan kerusuhan berbau SARA, yang kemudian mengarah pada gejala disintegrasi bangsa atau gerakan separatisme. Tiadanya filter yang kuat dari bangsa Indonesia telah mendorong globalisasi direspon secara parsial oleh kelompok-kelompok etnis tertentu untuk memisahkan diri dari Bangsa Indonesia.

E. Kebangsaan Multikultural Sebagai Paradigma
Melihat realitas munculnya krisis kebangsaan di atas, diperlukan sebuah formula atau resep yang dapat diterapkan untuk menghadapi fenomena krisis kebangsaan yang sudah kian parah mengarah pada disintegrasi bangsa. Saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi arus ganda permasalahan seputar identitas nasional kebudayaannya. Di satu sisi, harus menghadapi gempuran gelombang globalisasi yang membawa peradaban universal (universal civilization) beserta dampak ikutan lainnya, seperti uniformitas, homogenisasi, westernisasi, dan hegemoni budaya. Di lain sisi, tengah berhadapan dengan masalah-masalah internal dalam kebudayaannya sendiri baik yang muncul sebagai akibat dinamika nasional maupun persentuhannya dengan penetrasi globalisasi. Contoh dari gejala ini adalah munculnya radikalisme etnik yang cenderung mengarah pada disintegrasi bangsa.
Melihat dua kenyataan dilematis ini, diperlukan suatu format baru dalam menata kembali konstelasi budaya lokal indonesia yang terbungkus dalam mozaik kebudayaan nasional, yang sebenarnya saat ini telah mengalami carut marut dan tercerabut oleh konflik etnik dan kekerasan kolektif. Oleh karena itu, multikulturalisme (plural culture) seharusnya dijadikan paradigma baru menggantikan konsep masyarakat majemuk (plural society) yang selama ini diterapkan oleh rezim Orde Baru. Masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa tidak akan mungkin mewujudkan masyarakat sipil yang demokratis dan sudah saatnya digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme yang mempunyai cakupan tidak hanya budaya etnik, tapi juga berbagai budaya lokal yang diposisikan secara sederajat.
Multikulturalisme merupakan suatu strategi dari integrasi sosial dimana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (“tunggal ika”) yang paling potensial akan melahirkan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya pluralitas (“bhineka”) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaharuan sosial yang demokratis.
Kalau di masa dahulu yang lebih ditekankan adalah semangat “ika”-nya, maka saat ini sudah seharusnyalah bangsa Indonesia lebih menekankan kepada semangat “bhineka”-nya. Artinya, persatuan dan kemanunggalan tidak akan bisa langgeng dan permanen apabila di dalamnya tidak terdapat jiwa-jiwa yang menghargai kebhinekaan budaya antar suku bangsa. Semangat toleransi antar pihak, saling menghargai antar golongan, dan saling menghormati antar etnik merupakan konsepsi inti dari multikulturalisme. Sedangkan penekanan pada persatuan secara paksa tanpa didasari oleh semangat mengahargai perbedaan hanya akan menimbulkan konflik latent yang dalam kurun waktu tertentu akan mencapai klimaksnya dengan munculnya gejala konflik, kekerasan, dan kerusuhan etnik yang mengarah pada gejala disintegrasi bangsa.
Wacana tentang multikulturalisme mulai menguat dan memperoleh tempat yang utama dalam kajian perubahan sosial dan budaya ketika realitas kehidupan di penghujung abad ke-20 dan awal abad ke-21 menunjukkan keanekaragaman budaya dengan berbagai corak budayanya yang hadir ditengah-tengah masyarakat. Multikulturalisme dipakai sebagai perangkat analisa atau perspektif untuk memahami dinamika keanekaragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah, suku, bangsa, rasial, golongan, dan agama.
Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen dimana pola-pola hubungan sosial antar individu dalam masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap entitas sosial dan politiknya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan, meskipun didalamnya terdapat kompleksitas perbedaan.
Sebagai sebuah formula dan format baru dalam agenda perubahan sosial, multikulturalisme dihadapkan pada kenyataan adanya arus globalisasi yang menjangkiti seluruh segmen kehidupan masyarakat baik pada level primordialisme (kedaerahan), nation state (negara bangsa), maupun pada level dunia internasional (world system). Proses mengglobalnya nilai-nilai budaya, life style, falsafah, kebiasaan, dan institusi-institusi yang berasal dari Barat – sebagai asal mula dan sumber globalisasi – kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, hiburan, pendidikan, sampai dengan urusan selera “perut” dan “aurat” harus dipahami sebagai proses penyeragaman dan pembaratan budaya.
Globalisasi yang membawa misi homogenisasi, westernisasi, dan uniformitas budaya ini sangat bertentangan dengan gagasan multikulturalisme yang ber platform pluralis, humanis, dan menjaga heterogenitas budaya sebagai sesuatu yang alamiah (nature). Padahal, globalisasi adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri dan dihindari hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang saat ini sedang mengalami krisis kebudayaan. Globalisasi telah berubah dari sebuah mitos menjadi realitas yang yang bersifat kongkret dan empirik.
Dengan demikian, perlu proses penyadaran diantara masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman identitas budaya yang dibalut oleh semangat kerukunan dan perdamaian. Keanekaragaman budaya ini dapat diilustrasikan bagai bintang-bintang dilangit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagad raya. Dalam konteks ini, peranan negara sebaiknya hanya menfasilitasi bagi terciptanya toleransi antar entitas sosial budaya, dan bukan memainkan peran intervensi-represif yang dapat menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim korporatis Orde baru. Akhirnya, konsep multikulturalisme yang dijiwai oleh nilai-nilai spiritualisme harus dijadikan paradigma dalam mencegah disintegrasi bangsa.

F. Catatan Akhir
Sebagai catatan terakhir, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam memaknai pembahasan tentang kebangsaan nasional Indonesia. Pertama, Proses nation building harus segera dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengantipasi berbagai gejala disintergrasi bangsa. Proses nation building yang dulu dikesampingkan oleh bangsa Indonesia dan lebih memperhatikan pada proses state building, saat ini sudah selayaknya untuk dibalik. Prioritas utama harus diletakkan pada proses nation building.
Kedua, Multikulturalisme di Indoenesia lahir dari suasana historis dimana kebijakan pemerintah kolonial secara sengaja menciptakan peranan budaya negara lebih dominan dari budaya lokal. Karena itu, jika kesenjangan sosial, separatisme, dan ancaman disintegrasi bangsa yang sedang berlangsung tidak segera diambil agenda pembaharuan sosial, maka Indonesia hari esok tidaklah berbeda dengan jatuhnya negara-negara dikawasan Balkan.
Ketiga, restoprasi sosial dan ekonomi, termasuk kompensasi terhadap pemulihan kesejahteraan rakyat ditempat-tempat konflik menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, menjadi keperluan mendesak bagi masyarakat dan negara untuk merevitalisasi nilai-nilai lokal yang dapat dirasionalisasikan pada kondisi modern seperti sekarang ini.s
Keempat atau terakhir, upaya pemerintah untuk merevitalisasi nilai lokal, mengakomodasikan nilai-nilai substansif dan prosedural tidak akan berhasil jika pemerintah tidak melakukan proses sosial yang harmonis. Kehadiran dominasi negara dalam kaitannya dengan fungsi preventif timbulnya konflik dalam suasana demokratis sangat dibutuhkan. Jika ini tercapai, mudah-mudahan semangat kebangsaan multikultural yang dibalut dengan senyawa spiritualitas akan mampu mencegah disintegrasi bangsa dan melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang aman, tenteram, adil, makmur, sejahtera dan damai. Amiin.

Catatan Kaki

Pendapat Gooch ini dikutip dari L.L. Snyder, The Dynamic of Nasionalism, (Princeton : D. Van Nostrand Co. Inc.), hlm. 25.
L. Greenfeld dan D. Chirot, “Nasionalisme and Agression” , dalam Theory and Society, 23 (1) 1994, hlm. 79 – 130.
A. M. Alonso, “The Politics of Space, Time, and Substance : State Formation, Nationalism, and Ethnicity”, dalam Annual Review of Anthroplogy, 23, 1994, hlm. 379 – 405.
R. Emerson, From Empire to Nation, (Cambridge : Harvard University Press, 1967), hlm. 188
E. Kedourie, Nationalism, (London : Hutchinson University Library, 1996), hlm. 9
A.D. Smith (ed.), Nationalist Movement, (London : The Mac Millan Press, 1979), hlm. 1
K.R. Minogue, Nationalism, (London : Methuen, 1967), hlm. 25
Snyder, Op. Cit., hlm. 23.
E. Gellner, Nation and Nationalism, (Ithaca : Cornell University Press, 1983), hlm. 1 dan 48 – 49.
Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, (Bandung : Abardin, 1990), hlm. 29.
K. R. Minogue, Op. Cit., hlm. 29.
J. Plamenatz, Nationalisme : The Nature and Evolution of an Idea, (Oxford : Oxford University Press), hlm. 36.
Carles Tilly, “States and Nationalism in Europe 1492 – 1992”, dalam Theory and Society, 23 (1), hlm. 131 – 146.
M. Lind, “In Defence of Liberal Nationalism”, dalam Foreign Affairs, 73 (3), hlm. 87 – 99.
J.A. Hall, “Nationalism : Clasified and Explained’, dalam Dauddalus, 122 (3), hlm. 1 – 28.
F. Herz, Nationality in History and Politics, (London : Roudledge and Kegan Paul, 1966), hlm. 47.
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (New York : Simon & Schuster, 1996).
Pemahaman lebih mendalam tentang Neo kolonialisme dan Neo Imperialisme dapat dibaca pada makalah KASAD, “Ancaman Neo Kolonialisme Terhadap NKRI” , yang disampaikan dalam seminar patria pada tanggal 5 januari 2004 di Hotel Kartika Chandra Jakarta.
John Naisbit, Global Paradox, (London : Nicholas Brealy Publishing, 1995), hlm. 35 – 37.
Anthony Giddens, Jalan Ketiga, (Jakarta : Gramedia, 1999), hlm. 36
Agus Subagyo, “Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas Global”, Kompas, Jumat, 28 Desember 2001.
Sri Sultan Hamengku Buwono X, “Menuju Indonesia Baru : Dari Masyarakat Majemuk menuju Masyarakat Multikultural”, makalah disampaikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) , pada tanggal 16 Agustus 2001, di Yogyakarta.
Asep Purnama Bachtiar, “Hegemoni Budaya di Balik Multikultural”, Jurnal Media Inovasi UMY, No. 01 TH. XI / 2001.

DAFTAR PUSTAKA

A. M. Alonso, “The Politics of Space, Time, and Substance : State Formation, Nationalism, and Ethnicity”, dalam Annual Review of Anthroplogy, 23, 1994

A.D. Smith (ed.), Nationalist Movement, (London : The Mac Millan Press, 1979)

Agus Subagyo, “Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas Global”, Kompas, Jumat, 28 Desember 2001.

Anthony Giddens, Jalan Ketiga, (Jakarta : Gramedia, 1999)

Asep Purnama Bachtiar, “Hegemoni Budaya di Balik Multikultural”, Jurnal Media Inovasi UMY, No. 01 TH. XI / 2001.

Carles Tilly, “States and Nationalism in Europe 1492 – 1992”, dalam Theory and Society, 23 (1)

E. Gellner, Nation and Nationalism, (Ithaca : Cornell University Press, 1983)

E. Kedourie, Nationalism, (London : Hutchinson University Library, 1996)

F. Herz, Nationality in History and Politics, (London : Roudledge and Kegan Paul, 1966)

J. Plamenatz, Nationalisme : The Nature and Evolution of an Idea, (Oxford : Oxford University Press)

J.A. Hall, “Nationalism : Clasified and Explained’, dalam Dauddalus, 122 (3)

Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, (Bandung : Abardin, 1990)

John Naisbit, Global Paradox, (London : Nicholas Brealy Publishing, 1995)
K.R. Minogue, Nationalism, (London : Methuen, 1967)

KASAD, “Ancaman Neo Kolonialisme Terhadap NKRI” , yang disampaikan dalam seminar patria pada tanggal 5 januari 2004 di Hotel Kartika Chandra Jakarta.

L. Greenfeld dan D. Chirot, “Nasionalisme and Agression” , dalam Theory and Society, 23 (1) 1994

L.L. Snyder, The Dynamic of Nasionalism, (Princeton : D. Van Nostrand Co. Inc.)

M. Lind, “In Defence of Liberal Nationalism”, dalam Foreign Affairs, 73 (3)
R. Emerson, From Empire to Nation, (Cambridge : Harvard University Press, 1967)

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, (New York : Simon & Schuster, 1996).

Sri Sultan Hamengku Buwono X, “Menuju Indonesia Baru : Dari Masyarakat Majemuk menuju Masyarakat Multikultural”, makalah disampaikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) , pada tanggal 16 Agustus 2001, di Yogyakarta.

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi

Categories: Studi Sosial | Leave a comment

KEBIJAKAN DAN STRATEGI POTENSI PERTAHANAN NEGARA


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Abstrak
Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana kebijakan dan strategi yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam mengelola potensi pertahanan negara. Sistem pertahanan yang dianut oleh Bangsa Indonesia adalah sistem pertahanan semesta (sishanta) berdasarkan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, sehingga mengharuskan untuk segera melakukan identifikasi dan inventarisasi segala sumber daya pertahanan untuk ditransformasikan dalam mendukung pertahanan negara yang modern. Pengelolaan potensi pertahanan negara harus melibatkan seluruh komponen pertahanan negara sehingga akan mampu mewujudkan “minimum essential force” yang digalang oleh Dephan dan TNI.
Kata Kunci : kebijakan, strategi, pertahanan, TNI.

A. Pendahuluan
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai komponen cadangan dan pendukung, dimana setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menegaskan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI mengamanatkan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).
Dalam rangka mendukung sistem pertahanan semesta, pengelolaan potensi pertahanan merupakan sebuah keharusan. Pengelolaan potensi pertahanan dirancang secara dini untuk menyiapkan rakyat sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara sehingga dapat mendukung komponen utama pertahanan negara. Tanpa adanya pengelolaan potensi pertahanan, maka niscaya upaya untuk mewujudkan sistem pertahanan semesta akan mengalami kendala dan hambatan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, makalah ini akan menyoroti tentang permasalahan yang dihadapai oleh TNI, khususnya TNI AD, dalam melakukan pengelolaan potensi pertahanan. Agar supaya tulisan ini sistematis dan runut, maka makalah ini akan difokuskan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut : Apa yang dimaksud dengan potensi pertahanan? Mengapa TNI melakukan tugas pengelolaan potensi pertahanan? Apa saja kendala yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan potensi pertahanan? Bagaimana kebijakan dan strategi pengelolaan potensi pertahanan?.

B. Pengertian Potensi Pertahanan
Hakekat Pertahanan Negara adalah segala upaya Pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan terhadap kekuatan sendiri. Sifat semesta penyelenggaraan itu meliputi seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, sarana prasarana dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara. Potensi sumber daya nasional adalah segala sumber daya yang dapat didayagunakan melalui proses transformasi menjadi potensi kekuatan pertahanan negara yang pada saatnya diperlukan dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan pertahanan negara.
Transformasi dari sumber daya nasional menjadi potensi kekuatan pertahanan negara salah satunya dimaksudkan untuk membangun komponen cadangan dan komponen pendukung, dalam rangka memperkuat dan memperbesar komponen utama pertahanan negara, melalui kebijakan :
1. Transformasi potensi sumber daya manusia menjadi prajurit TNI (komponen utama), menjadi warga negara yang siap melaksanakan bela negara secara fisik dan kekuatan pendukung upaya pertahanan negara sesuai profesinya, serta perlindungan masyarakat dari bencana.
2. Transformasi potensi sumber daya alam / buatan berupa sumber daya flora, fauna, bahan tambang, sumber energi dan sumber daya lainnya yang memiliki nilai strategis, baik di darat, laut dan dirgantara menjadi cadangan material strategis dalam rangka mendukung logistik wilayah sebagai logistik tempur.
3. Transformasi sarana dan prasarana nasional menjadi komponen cadangan dan komponen pendukung dalam rangka perlawanan bersenjata maupun tidak bersenjata. Bersifat fisik dalam bentuk sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, industri, pendidikan dan latihan, depo logistik, migas dan distribusinya, kesehatan, ketenagalistrikan dan perbengkelan/ otomatif.
4. Transformasi kemampuan iptek nasional menjadi kekuatan pertahanan negara. Kemampuan iptek nasional dan industri strategis untuk memproduksi barang dan jasa, penelitian dan pengembangan dalam rangka mendukung kebutuhan pertahanan/ alat utama sistem senjata.
5. Transformasi wilayah negara dengan menata wilayah negara menjadi bentuk tata ruang yang mampu mendukung terselenggaranya upaya pertahanan negara secara efektif dan efesien.
Dari kebijakan umum transformasi sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan tersebut, komponen cadangan dan komponen pendukung sebagai bagian dari komponen pertahanan negara adalah salah satu wujud akhir yang hendak dituju. Dalam hal ini cakupan sumber daya nasional yang hendak ditransformasikan tidak hanya meliputi sumber daya manusia semata, tetapi juga meliputi seluruh unsur sumber daya nasional yakni sumber daya alam dan buatan, serta sarana dan prasarana.

C. Pengelolaan Potensi Pertahanan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, tugas Menhan menetapkan kebijakan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden, sedangkan Panglima TNI sebagai pengguna segenap komponen pertahanan negara dalam penyelenggaraan operasi militer berdasarkan undang-undang.
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, mengamanatkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Kedudukan dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer di bawah Presiden, sedangkan dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan adminstrasi, TNI dibawah koordinasi Dephan.
Pengelolaan Sishankamrata pada masa lalu dilaksanakan oleh TNI, karena Panglima TNI masih merangkap sebagai Menhankam dan implementasi pelaksanaannya di daerah dilaksanakan oleh PTF di Daerah yang dibentuk melalui Keputusan Menhankam Nomor : Kep/012/VIII/1988 tanggal 31 Agustus 1988 tentang Penyelenggara Tugas dan Fungsi Dephan di Daerah, dan Surat Keputusan Menhankam Nomor : Skep/1357/VIII/1988 tentang Pokok-Pokok Mekanisme Pelaksanaan Program dan Anggaran dalam rangka PTF Dephan di Daerah.
Tugas Dephan selaku pengemban fungsi pemerintahan di bidang pertahanan, termasuk didalamnya adalah mengelola sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan. Struktur organisasi Dephan saat ini belum menjangkau untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya nasional dan penyiapan ketiga komponen pertahanan secara optimal diseluruh tanah air. Dengan demikian, Dephan memerlukan kepanjangan tangan untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya nasional tersebut.
Berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor : Kep/012/VIII/1988 Kodam ditunjuk sebagai PTF Dephan di daerah. Dengan adanya beberapa undang-undang baru di era reformasi, pelaksanaan tugas Kodam sebagai PTF Dephan menjadi rancu dengan tugas TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang tidak lagi menyentuh fungsi pemerintah. Kerancuan ini disebabkan belum tegasnya dan belum dipahaminya bahwa pertahanan negara adalah fungsi pemerintah. Artinya dengan wacana yang berkembang saat ini belum dipahami benar bahwa peran TNI dalam pertahanan adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Dari kaca mata ini maka penunjukan Kodam sebagai PTF Dephan di daerah dapat dipandang sebagai keputusan politik pemerintah kepada TNI untuk melaksanakan tugas sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 pasal 7 ayat 2 huruf ‘b’ butir 8 yang berbunyi: “memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta”.
D. Kendala Pengelolaan Potensi Pertahanan
Dalam prakteknya, upaya penyelenggaraan potensi pertahanan yang dilakukan oleh TNI, khususnya TNI AD, termasuk Korem 032/Wirabraja mengalami beberapa kendala, antara lain :
a. Kendala payung hukum. Artinya, pengelolaan potensi pertahanan menghadapi ketidakjelasan payung hukum. Ketidakjelasan payung hukum dimaksud adalah belum dijabarkannya UU Pertahanan Negara dan UU TNI yang mengatur mengenai pengelolaan potensi pertahanan. Untuk melaksanakan pengelolaan potensi pertahanan, UU Pertahanan Negara dan UU TNI mengamanatkan agar merumuskan payung hukum turunan, berupa UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, serta UU Pendidikan Kewarganegaraan. Padahal, UU tersebut merupakan ”roh” dari sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Sampai saat ini, UU tersebut masih dalam proses penggodokan antara Pemerintah dan DPR sehingga belum dapat disahkan menjadi UU. Padahal, payung hukum tersebut sangat diperlukan bagi Kodam dan Korem di seluruh Indonesia untuk melaksanakan pengelolaan potensi pertahanan. Lamanya proses pengesahan UU tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan potensi pertahanan belum menjadi skala prioritas bagi semua pihak, khususnya DPR (Komisi I DPR) sebagai lembaga legislasi nasional.
b. Kendala anggaran. Artinya, pengelolaan potensi pertahanan menghadapi kendala alokasi anggaran yang serba terbatas, minim dan kurang mencukupi. Alokasi anggaran TNI dalam APBN yang masih relatif kecil belum mampu secara optimal membiayai pengelolaan potensi pertahanan. Sementara itu, pemerintah daerah di era otonomi daerah saat ini kurang peduli dan kurang perhatian terhadap masalah pengelolaan potensi pertahanan. Pemerintah Daerah menganggap bahwa masalah pengelolaan potensi pertahanan merupakan masalah pertahanan negara yang dalam UU Otonomi Daerah (UU No 32/2004) merupakan tugas Pemerintah Pusat, sehingga tidak perlu ada alokasi anggaran dalam APBD setiap tahunnya bagi pengelolaan potensi pertahanan di daerah. Padahal, sangat jelas ditegaskan dalam UU TNI, bahwa dalam konteks pengelolaan potensi pertahanan, TNI hanya membantu pemerintah saja, sehingga pemerintah (pusat dan daerah) harus memahami dan membiayai program tersebut secara rutin setiap tahunnya dalam APBD.
c. Kendala sarana prasarana. Artinya, dalam menyelenggarakan pemberdayaan wilayah pertahanan, TNI mengalami hambatan terbatasnya sarana prasarana yang dimiliki. Sarana transportasi, sarana informasi, sarana komunikasi, dan sarana lainnya yang dimiliki oleh TNI sangat terbatas sehingga kurang mendukung pengelolaan potensi pertahanan. TNI memerlukan sarana prasarana yang memadai dalam menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran, melatih rakyat dalam upaya bela negara, membentuk satuan-satuan komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara.
d. Kendala mispersepsi masyarakat. Artinya, di era reformasi saat ini, masih ada yang mempersepsikan secara keliru dan berpandangan negatif terhadap kegiatan pengelolaan potensi pertahanan yang dilakukan oleh TNI. Sebagian kecil kelompok menyatakan bahwa pengelolaan potensi pertahanan merupakan wajah lain dari ”Binter” yang dijadikan sebagai sarana agar supaya TNI masuk kembali dalam politik. Pengelolaan potensi pertahanan yang tercermin dalam pemberdayaan wilayah pertahanan yang didalamnya terdapat latihan dasar kemiliteran dinilai secara negatif sebagai ”militerisasi” masyarakat. Upaya memberdayakan rakyat dalam komponen cadangan dan komponen pendukung diartikan sebagai mobilisasi oleh sebagian pihak. Persepsi keliru dan pandangan negatif ini cenderung menjadi kendala bagi TNI dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Pertahanan Negara dan UU TNI.
e. Kendala Mispersepsi Pemerintah Daerah. Artinya, di era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, berbagai kebijakan pemerintah daerah, baik Propinsi, Kabupaten / Kota, khususnya kebijakan penyusunan RTRW seringkali tidak pernah melibatkan satuan TNI di daerah, baik Kodam, Korem maupun Kodim. Masih terdapat mispersepsi di kalangan pemerintah daerah dimana penyusunan RTRW dianggap tidak ada kaitannya dengan TNI. RTRW selalu dinilai dari aspek pembangunan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek pertahanan. Padahal, satuan TNI di daerah juga selalu menyusun RUTR Pertahanan yang sebenarnya perlu diselaraskan dengan RTRW Pemda.
E. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Potensi Pertahanan
Dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan, diperlukan kebijakan dan strategi sehingga akan mampu menggali segala potensi sumber daya nasional yang ada di setiap daerah / wilayah sehingga dapat ditransformasikan sebagai sumber dan potensi pertahanan. Oleh karena itu, berikut ini akan diuraikan kebijakan dan strategi pengelolaan potensi pertahanan yang sangat penting sebagai pedoman bagi Korem 032/Wirabraja dalam mengelola potensi pertahanan.
1. Kebijakan Payung Hukum
“Melengkapi payung hukum (berupa UU dan Peraturan Pemerintah) yang mengatur secara tegas dan detail tentang teknis, prosedur dan mekanisme peran TNI dalam membantu pemerintah menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan”.
Strategi yang dirumuskan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Mempercepat pengesahan RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara menjadi UU melalui proses legislasi untuk membentuk kekuatan nyata yang dapat demobilisasi menghadapi ancaman militer.
b. Mempercepat pengesahan RUU Komponen Pendukung Pertahanan Negara menjadi UU untuk memberikan koridor, rambu-rambu serta peluang bagi tiap-tiap elemen sumber daya nasional atas kontribusinya terhadap kepentingan pertahanan.
c. Mempercepat pengesahan RUU Latihan Dasar Kemiliteran menjadi UU terhadap semua warga negara atau terbatas pada warga negara yang memerlukan persyaratan tertentu untuk menjadi anggota komponen cadangan.
d. Mempercepat pengesahan RUU Bela Negara menjadi UU, dimana dalam penyusunannya melibatkan instansi TNI, Dephan dan instansi terkait.
e. Merevisi UU Mobilisasi dan Demobilisasi yang disesuaikan dengan UU Haneg dan UU TNI.
f. Merevisi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) yang mengatur klausul tentang bidang pertahanan dan keamanan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pasal tersebut perlu diberi penjelasan lebih detail karena realitas saat ini menunjukkan bahwa sebagian Pemerintah Daerah cenderung kurang peduli dengan masalah pertahanan dan keamanan karena dianggap sebagai urusan Pusat (TNI). Dengan adanya revisi, pengelolaan potensi pertahanan sudah selayaknya menjadi tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah pusat maupun daerah, sehingga perlu ada alokasi APBD untuk pengelolaan potensi pertahanan.
g. Menyusun PP, Perpres, dan Permen, sebagai penjabaran dari UU Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara, yang mengatur pola pembinaan dan prosedur pemberdayaan unsur-unsur dalam komponen cadangan dan pendukung yang berkekuatan hukum dan kekuatan moral yang mengikat semua departemen/instansi terkait.
h. Menyusun Juklak/juknis/jukmin pembinaan Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara dalam membantu pemerintah/Dephan sesuai dengan pasal 7 (2b) UU TNI sebagai pedoman dan timbul keseragaman dan keselarasan dalam pelaksanaan di lapangan.
i. Menyusun dokumen Postur Komponen Cadangan dan Pendukung Pertahanan Negara, baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
j. Merumuskan model pemberdayaan wilayah pertahanan yang berlaku nasional, mengakomodasi isu-isu kritis di masing-masing wilayah, melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan dapat digladikan atau dilatihkan pada masyarakat, dalam rangka mencapai sistem pertahanan semesta.
2. Kebijakan Anggaran
“Memberikan pemahaman dan penyadaran kepada pemerintah dan Pemerintah Daerah bahwa masalah pengelolaan potensi pertahanan dan pemberdayaan wilayah pertahanan negara merupakan tanggungjawab bersama sehingga harus ada alokasi anggaran dalam APBD setiap tahunnya untuk membiayai program pengelolaan potensi pertahanan”.
Strategi yang ditempuh untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Mengalokasikan anggaran rutin dalam APBN dan APBD bagi TNI untuk pembinaan sumber daya pertahanan negara.
b. Mengalokasikan anggaran operasional dalam APBN dan APBD bagi TNI untuk pembinaan sumber daya pertahanan negara.
c. Mengalokasikan anggaran pembinaan dalam APBN dan APBD bagi TNI untuk membina sumber daya pertahanan negara.
3. Kebijakan Sarana Prasarana
Memenuhi sarana prasarana yang ada di lingkungan TNI, khususnya Kodam-Kodam dan Korem-Korem di daerah yang mengemban fungsi sebagai PTF Dephan, sehingga dapat menunjang pelaksanaan tugas dalam menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran, pendidikan bela negara, dan membentuk satuan-satuan komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara.
Strategi yang dijalankan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Memperbarui berbagai materiil yang dimiliki oleh satuan TNI AD, khususnya yang ada di Kodam, Korem, Kodim, dan Koramil sebagai sarana untuk melakukan pengelolaan potensi pertahanan.
b. Membangun berbagai sarana gedung, markas, dan pusat-pusat latihan dasar kemiliteran sehingga menunjang pengelolaan potensi pertahanan.
c. Memodernisasi sarana transportasi, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana akomodasi, dll sehingga dapat mendukung pengelolaan potensi pertahanan.
4. Kebijakan Sinergitas Masyarakat
“Melakukan sosialisasi secara rutin kepada seluruh komponen masyarakat tentang program pengelolaan potensi pertahanan yang merupakan amanat UU Pertahanan Negara dan UU TNI dan memberikan pemahaman bahwa pengelolaan potensi pertahanan pertahanan bukan sebagai sarana bagi TNI masuk dalam politik, melainkan sebagai upaya mendukung sistem pertahanan semesta.
Strategi yang ditetapkan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Menyelenggarakan dialog / diskusi dengan para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, dll mengenai pengelolaan potensi pertahanan sehingga terwujud persepsi yang sama.
b. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat di berbagai lapisan, termasuk di kalangan masyarakat kampus dan mahasiswa tentang pengelolaan potensi pertahanan sehingga terrcapai kesamaan pandangan.
c. Menggelar seminar / workshop dengan unsur LSM, Ormas, dan tokoh intelektual tentang bagaimana mengelola potensi pertahanan di wilayahnya masing-masing sehingga tercapai kesadaran tentang pentingnya mengelola potensi pertahanan.
d. Melakukan sosialisasi melalui media cetak dan media elektronik kepada masyarakat agar supaya mereka menyadari dan memahami bahwa pengelolaan potensi pertahanan bukanlah program TNI namun merupaakan program pemerintah sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan tulus iklhas.
5. Kebijakan Sinergitas Pemerintah Daerah
“Melakukan sinkronisasi dalam penyusunan RTRW Pembangunan Pemda dengan RUTR Pertahanan TNI di masing-masing daerah sehingga akan akan tercapai proses pembangunan wilayah yang berbasis pada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach).
Strategi yang dipergunakan untuk mencapai kebijakan tersebut adalah, antara lain :
a. Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah, khususnya Bapeda, dalam menyusun RTRW harus memperhatikan RUTR Pertahanan yang dibuat oleh TNI di masing-masing wilayah.
b. Memberikan pemahaman kepada DPRD, khususnya panitia khusus yang membahas Perda RTRW, untuk mengajak diskusi dan dialog dengan satuan TNI di wilayahnya masing-masing ketika membahas penggodokan Perda RTRW.
c. Mengusulkan kepada Pemerintah Daerah, khususnya Gubernur, Bupati dan Walikota, agar supaya ada perwakilan dari unsure TNI dalam membahas RTRW sehingga dapat disinkronkan dengan RUTR TNI.

F. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik benang merah kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengelolaan potensi pertahanan merupakan program dan kegiatan yang sangat penting dilakukan untuk mendukung sistem pertahanan semesta. Sistem pertahanan semesta yang bertumpu pada kekuatan kemanunggalan TNI-Rakyat dapat berhasil digelar apabila terdapat pengelolaan potensi pertahanan dan pemberdayaan wilayah pertahanan secara dini oleh Pemerintah. Dalam konteks UU TNI, TNI bertugas membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan dan pemberdayaan wilayah pertahanan.
2. Dalam menyelenggarakan pengelolaan potensi pertahanan saat ini menunjukkan bahwa banyak sekali kendala yang dihadapi oleh TNI, seperti kendala payung hukum / piranti lunak, anggaran, sarana prasarana, mispersepsi masyarakat dan mispersepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya pertahanan.
3. Kebijakan dan strategi yang harus ditetapkan untuk mengelola potensi pertahanan dalam rangka mendukung sistem pertahanan semesta dilakukan dengan cara melengkapi payung hukum, mengalokasikan anggaran, memenuhi sarana prasarana, memberikan pemahaman terhadap masyarakat terhadap pengelolaan potensi pertahanan, dan mensinkronkan RTRW Pemda dan RUTR TNI.
Melihat kesimpulan di atas, maka dapat diformulasikan rekomendasi sebagai berikut :
1. Kepada Pemerintah, diharapkan segera mendesak kepada DPR untuk menyelesaikaan dan merampungkan aturan UU yang mengatur tentang pengelolaan potensi pertahanan, seperti UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, dll.
2. Kepada DPR, khususnya kepada Komisi I DPR untuk segera menyetujui dan mengesahkan aturan UU yang mengatur tentang pengelolaan potensi pertahanan, seperti UU Komponen Cadangan, UU Komponen Pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi, dll.
3. Kepada Pemerintah Daerah, diharapkan setiap tahunnya mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pembiayaan pengelolaan potensi pertahanan yang dilakukan oleh satuan TNI di daerahnya masing-masing.
4. Kepada DPRD, agar supaya bersama-sama dengan Pemda membuat Perda tentang pengelolaan potensi pertahanan di wilayahnya masing-masing sehingga menjadi payung hukum yang kuat, mengikat, dan sah.
5. Kepada Masyarakat, agar supaya memahami dan menyadari bahwa pengelolaan potensi pertahanan merupakan tugas pemerintah (baik pusat dan daerah) dimana TNI hanya membantu pemerintah, sehingga tidak perlu dikhawatirkan apalagi dicurigai untuk melakukan militerisasi masyarakat.

Catatan Kaki

Lihat naskah UUD 1945, khususnya pada bagian pembukaan/preambule, dan pasal 30 ayat (1) dan (2).
Lihat UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, khususnya pada Bab I, pasal 1, ayat (2).
Lihat UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, khususnya pasal 7 ayat (1) dan (2).
Lihat daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2009 yang dikeluarkan oleh DPR RI, dimana UU dimaksud masih antri untuk dibahas sehingga bisa dipastikan masih akan berlangsung lama proses pengesahannya apalagi saat ini sedang terjadi proses pergantian anggota DPR yang baru. http://dpr-mpr.go.id/prolegnas/uu/html.
DAFTAR PUSTAKA
1. UUD 1945
2. UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
3. UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI
4. Buku Putih Pertahanan RI, Departemen Pertahanan RI, Jakarta, 2003
5. Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Dephan RI, Kebijakan Bidang Potensi Pertahanan Tahun 2007, Makalah yang disampikan dalam Rapim Dephan RI Tahun 2007.
6. Jon Mackie, The Making Defence Strategy, London, Free Press, 2005
7. Antony Sallart, Weapon Don’t Make War, Boston, Aufresgh Press, 2007.

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung

Categories: Kajian TNI | Leave a comment

MERUMUSKAN KEMBALI HAKEKAT ANCAMAN NASIONAL


Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

A. Pengantar
Pada era Perang Dingin, hakekat ancaman, baik ancaman nasional maupun internasional, lebih didasarkan pada ancaman yang bersifat militer dan berasal dari eksternal. Agresi militer antara satu negara ke negara lain yang didorong oleh perluasan ideologi sangat mewarnai politik global saat itu. Faktor ideologi dan penekanan pada konsep ”national security” sangat menentukan bagi para pengambil keputusan, baik pada level nasional maupun global, dalam merumuskan hakekat ancaman.
Bagi Blok Barat, hakekat ancaman adalah negara-negara yang berideologikan sosialis-komunis dan yang menginduk pada Uni Soviet dalam koalisi Blok Timur. Bagi Blok Timur, hakekat ancaman adalah negara-negara yang berideologikan liberalis-kapitalis dan yang mengekor pada Amerika Serikat dengan bendera Blok Barat. Penentuan kawan atau lawan dalam percaturan politik global lebih didasarkan pada ideologi apakah komunis atau liberalis. Isu global yang muncul saat itu adalah isu keamanan tradisional/konvensional berupa agresi militer yang dilakukan oleh aktor negara (state actor).
Namun demikian, berakhirnya Perang Dingin telah membawa konsekuensi pada perubahan hakekat ancaman atas keamanan internasional. Berbeda dengan periode Perang Dingin, dalam periode pasca Perang Dingin, ancaman keamanan internasional bersifat masalah-masalah non-militer dan bersumber dari masalah lokal dan global. Dalam dasawarsa kedua periode pasca Perang Dingin ini, konflik skala rendah, terorisme internasional, kejahatan transnasional, terganggunya keamanan ekonomi, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, degradasi lingkungan, dan kelangkaan sumber daya alam merupakan isu-isu yang akan berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional dan internasional. Isu global yang muncul saat ini isu keamanan non tradisional/non konvensional yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara (non state actors).
Berdasarkan alur cerita di atas, tulisan ini sebenarnya ingin menjawab beberapa pertanyaan berikut : Apa yang dimaksud dengan Ancaman? Kerangka Konseptual-Teoritis apa yang dapat dipakai untuk memahami transformasi hakekat ancaman nasional, khususnya pasca Perang Dingin? Apa hakekat ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas bagi Pemerintah Indonesia saat ini? dan solusi apa yang dapat dilakukan untuk menangkal hakekat ancaman tersebut?. Semua pertanyaan di atas akan dicoba dijawab dalam uraian berikut ini.

B. Tipologi Ancaman
Secara konvensional, fungsi utama militer adalah memelihara pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan doktrin keamanan nasional (national security) sangat menentukan posisi militer dan juga hubungan sipil-militer. Pijakan utama formulasi doktrin pertahanan dan keamanan sebagai perangkat lunak adalah ”ancaman”, yang secara umum bisa dirumuskan menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan sumber ancaman. Dua kategori ancaman ini melahirkan 4 tipologi ancaman seperti tergambar dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel 1
Tipologi Ancaman

Tipologi Ancaman Militer Non-Militer
Eksternal Tipe 1 Tipe 3
Internal Tipe 2 Tipe 4
Sumber : Diolah kembali dari Alfred Stephan, The Military in Politics : Changing Patterns in Brazil, (Princeton : Princeton University Press, 1971) dan Barry Possen, The Source of Military Doctrine, (Ithaca : Cornell University Press, 1994).

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dikatakan bahwa sifat ancaman bisa dirumuskan menjadi ancaman militer dan non militer, sedangkan sumber ancaman dibagi menjadi ancaman internal dan eksternal. Tipe I adalah ancaman militer-eksternal yang mencakup agresi, invasi dan infiltrasi kekuatan militer bersenjata dari luar wilayah/teritorial suatu negara. Tipe 2 adalah militer-internal dalam bentuk pemberontakan separatis bersenjata atau gerakan disintegrasi bangsa yang menggunakan kekuatan senjata secara terorganisir dan terlatih (well armed) . Tipe 3 adalah ancaman non-militer-eksternal berupa Transnational Organized Crime (TOC) yang mencakup emigran gelap, drugs traficking, terorisme, aktivitas kriminal bajak laut, illegal fishing, human traficking, dan perusakan lingkungan. Tipe 4 adalah nonmiliter-internal seperti bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil, pelanggaran HAM, deskriminasi gender, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat sebagai individu atau warga negara.
Tipologi di atas secara normatif menuntut dengan tegas perbedaan pertahanan dan keamanan, dan sekaligus akan sangat mempengaruhi dimana peran militer. Di Indonesia, khususnya setelah reformasi, secara konvensional, ancaman pertahanan adalah tipe 1 dan tipe 2, yang kemudian menjadi wilayah yang dibebankan kepada militer (TNI). Sedangkan ancaman keamanan berkaitan dengan tipe 3 dan tipe 4 yang dibebankan kepada polisi dan elemen-elemen sipil lainnya.

C. Dari ”National Security” Menjadi ”Human Security”
Jika pada masa Perang Dingin, persepsi ancaman keamanan nasional setiap negara diformulasikan secara parsial hanya sebagai ancaman militer berupa agresi teritorial yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dalam konteks perang ideologi antara blok Barat dan blok Timur sehingga mengancam keamanan nasional, maka pada masa Pasca Perang Dingin, ancaman militer mulai mengendur digantikan oleh ancaman non militer berupa kejahatan Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan degradasi lingkungan yang sebagian besar dilakukan oleh aktor non negara sehingga mengancam keamanan manusia.
Perubahan hakekat ancaman nasional setiap negara pasca Perang Dingin ini telah melahirkan sebuah konsep baru keamanan dalam literatur disiplin ilmu hubungan internasional, yakni konsep Human Security (keamanan manusia). Konsep human security lahir dan menguat pada masa pasca Perang Dingin sebagai pengganti konsep national security (keamanan nasional) yang eksis pada masa Perang Dingin. Konsep human security telah menjadi agenda baru keamanan internasional pasca Perang Dingin, yang kini tidak lagi berfokus pada isu-isu keamanan tradisional-konvensional berupa ancaman militer dari sebuah negara, tetapi pada isu-isu keamanan non tradisional-non konvensional yang datang dari para pelaku non negara. Tabel 2 berikut ini akan menguraikan secara lebih mendalam perbedaan antara paradigma National Security dan Human Security.
Tabel 2
Perbedaan Paradigma National Security
dan Human Security

Unsur Perbedaan National Security Human Security
Eksistensi Masa Perang Dingin Pasca Perang Dingin
Unit Analisis State Individu
Target Wilayah, Teritorial Hati, Pikiran, Jiwa
Basic Needs Kebutuhan fisik dasar Kebutuhan psikis dasar
Sifat Fisik, Statis Psikis,Dinamis
Wujud Kongkret, Empiris, Riel Abstrak, Laten, ideal
Jenis Tradisional, Konvensional Non tradisional, Non Kovensional
Dimensi Militer Ekonomi, Sosial, Politik, Komunitas, Personal, Lingkungan
Ancaman Invasi & Agresi Militer yang dilakukan oleh aktor negara Transnational Organized Crime, pelanggaran HAM, Kemiskinan, kelaparan, ketimpangan, degradasi lingkungan yang dilakukan oleh aktor non negara
Solusi Dihadapi dengan Kekuatan Bersenjata Dihadapi dengan membangun capacity building dan demokrasi
Menurut Bary Buzan, konsep-konsep keamanan pada masa Perang Dingin tidak lagi memadai, karena umumnya konsep ini dibangun dalam pengertian yang statis dan militeristik. Oleh karena itu, konsepsi lama mengenai keamanan bisa mengakibatkan kesalahan dalam menilai ancaman dan melahirkan kebijakan yang tidak tepat dalam menghadapinya. Seusai Perang Dingin, konsep keamanan berkembang dan paling tidak memiliki lima dimensi yang saling terkait dan tidak terisolasi satu sama lain, yaitu : militer, politik, ekonomi, societal, dan lingkungan.
Lebih lanjut Buzan mengatakan bahwa dalam mencapai keamanan, negara dan masyarakat tidak selalu berada dalam hubungan yang harmonis dan setara. Kerapkali, kedua belah pihak ini berada dalam posisi yang berlawanan. Kebutuhan untuk menciptakan dan memelihara keamanan negara seringkali mengorbankan hak-hak individu warga negara, sebagaimana umumnya terjadi di negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi Komunis selama periode Perang Dingin. Dengan kata lain, aman bagi negara belum tentu aman bagi warga negara yang berada di dalamnya. Hal ini disebabkan karena seringkali negara, yang mengatasnamakan keamanan nasional, keutuhan teritorial, dan stabilitas politik-keamanan, melakukan tindakan represif terhadap warga negaranya sehingga menciptakan feel of human insecurity.
Walaupun masih terus diperdebatkan hingga kini, konsep human security bisa memberikan bingkai pemahaman terhadap perubahan hakekat ancaman nasional pasca Perang Dingin. Konsep Human Security diperkenalkan secara resmi untuk pertama kalinya oleh UNDP dalam laporan tahunannnya yang berjudul ”Human Development Report 1994”. Laporan tersebut menyatakan bahwa :
”Sudah terlalu lama konsepsi keamanan dibentuk oleh potensi konflik antar negara. Sudah terlalu lama keamanan dikaitkan dengan ancaman terhadap batas wilayah sebuah negara. Sudah terlalu lama bangsa-bangsa mencari senjata untuk melindungi keamanannya”.

Berdasarkan pernyataan tersebut, UNDP mengajukan sebuah rumusan baru untuk keamanan yang diawali dengan pemahaman bahwa keamanan berarti :
”Keamanan dari ancaman terus-menerus dari rasa lapar, penyakit, kejahatan, dan penindasan… perlindungan terhadap gangguan yang membahayakan atas kehidupan sehari-hari – baik dirumah, tempat kerja, masyarakat atau lingkungan”.

Menurut UNDP, definisi konsep human security mengandung dua aspek penting. Pertama, human security merupakan “keamanan (manusia) dari ancaman-ancaman kronis seperti kelaparan, penyakit dan represi. Kedua. Human security juga mengandung makna adanya ”perlindungan atas pola-pola kehidupan harian seseorang –baik di dalam rumah, pekerjaan, atau komunitas dari gangguan-gangguan yang datang secara tiba-tiba serta menyakitkan”.
Selanjutnya, UNDP mengidentifikasi tujuh komponen human security, yaitu : economic security, food security, health security, environmental security, personal security, community security dan political security. Konsep dasar human security menekankan pentingnya empat karakter esensial, yakni bahwa konsep human security haruslah : Universal, independen, terjamin melalui pencegahan dini, dan berbasis pada penduduk (people centered).
Hal yang menarik dari konsep yang diajukan oleh UNDP ini adalah karena konsep human security berangkat dari konsep hak asasi manusia yang menjadi landasan pendirian Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dihasilkan dari Konferensi San Francisco pada bulan Juni 1945. ketika itu, dirumuskan bahwa keamanan memiliki dua komponen penting, yakni freedom from fear dan freedom from want. Sejauh ini, konsepsi keamanan banyak didasarkan pada komponen pertama sehingga menghasilkan konsepsi national security dan kurang mengabaikan komponen kedua sehingga menghambat lahirnya konsepsi human security.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradigma human security hadir untuk menegaskan bahwa terciptanya kondisi national security suatu negara belum tentu menjamin perasaan aman bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Suatu negara akan dapat dikatakan memiliki keamanan nasional yang tangguh apabila keamanan individu-manusia yang ada di dalamnya merasa terjaga secara utuh dan komprehensif.

D. Ancaman Keamanan Manusia
Setelah kita mengetahui hakekat ancaman, khususnya perubahan hakekat ancaman nasional pasca Perang Dingin, maka dalam konteks Indonesia, yang perlu diuraikan selanjutnya adalah hakekat ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas bagi Pemerintah Indonesia saat ini, khususnya dalam proses transisi menuju demokrasi yang terus berjalan sekarang ini.
Berdasarkan pada tipologi ancaman sebagaimana telah diuraikan di depan kemudian dikaitkan dengan perubahan hakekat ancaman pasca Perang Dingin, penulis memberanikan diri untuk menyatakan bahwa ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas penanganannya bagi Pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Ancaman Non Militer- Eksternal
Yang dimaksud dengan ancaman non-militer-eksternal adalah berupa Transnational Organized Crime (TOC) yang mencakup emigran gelap, drugs traficking, aksi terorisme, hijacking, illegal fishing, human traficking, illegal logging, dan perusakan lingkungan.
2. Ancaman Non Militer-Internal
Yang dimaksud ancaman nonmiliter-internal adalah berupa bencana alam, wabah penyakit, konflik sipil/SARA, pelanggaran HAM, deskriminasi gender, kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan masalah lain yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan militer tetapi mempunyai kandungan perlindungan terhadap rakyat sebagai individu atau warga negara.

Baik ancaman non militer-ekternal maupun non militer-internal merupakan ancaman yang berfokus bukan pada keamanan manusia, bukan keamanan nasional yang ingin merebut dan menduduki suatu wilayah tertentu dari sebuah negara. Ambil contoh aksi terorisme misalnya, sasarannya adalah manusia dengan medium peledakan bom. Kelompok teroris tidak bertujuan menguasai wilayah tertentu. Hal ini berbeda dengan agresi militer suatu negara yang bertujuan merebut dan menduduki wilayah dari negara yang didudukinya tersebut.
Prioritas penanganan pada ancaman yang bersifat non militer baik internal maupun eksternal ini bukan berarti mengabaikan sama sekali ancaman yang bersifat militer-eksternal dan militer internal. ancaman militer tradisional-konvensional dari luar bukan berarti tidak ada. Ancaman militer dari luar tetap ada. Hal ini diindikasikan dengan era ancaman perang nuklir yang tidak disertai dengan penghapusan senjata nuklir, konflik perbatasan antar negara, dan serangan negara adikuasa terhadap negara kecil atas nama ”humanitarian intervention”.
Namun demikian, ancaman agresi militer asing yang bersifat teritorial sudah sangat minimal dan out of qouestion. Ancaman agresi teritorial kurang diprioritaskan karena menunjuk pada perkembangan berikut ini: (1) tumbuhnya norma universal yang makin kuat melandasi hukum internasional untuk menentang agresi militer yang termanifestasikan dalam Piagam PBB; (2) anggapan umum bahwa kekuatan militer semakin tidak efektif dalam dalam menyejahterakan dan membesarkan negara dan bangsa, dan bahkan malah counter productive; (3) keterkaitan dan ketergantungan antar negara; (4) gelombang demokrasi dan hak asasi manusia diseluruh dunia.
Berkaitan dengan gerakan separatisme bersenjata atau gerakan disintegrasi bangsa, hendaknya kita merubah pola pikir bahwa gerakan separatisme sudah selayaknya dianggap sebagai tantangan, dan bukan ancaman. Alasannya adalah bahwa munculnya separatisme diasumsikan sebagai kegagalan negara dalam membangun sistem ekonomi, sosial dan politik bangsa sehingga menimbulkan fenomena disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia ditantang untuk menyelesaikan gerakan separatisme sebagai akibat dari krisis ekonomi, sosial, dan politik. Penyelesainnya pun tidak bisa hanya dengan menggunakan pendekatan keamanan, melainkan harus mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Memang, mengubah pola pikir semacam ini tidak mudah, khususnya dari kalangan yang masih berpegang teguh pada paradigma lama keamanan nasional yang tradisional.
Dalam pandangan TNI AD, berbagai ancaman nasional, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar, dan baik yang bersifat militer maupun non militer, seperti telah disebutkan di atas, merupakan bagian dari ancaman yang disebut dengan istilah ”Perang Modern”. Istilah ancaman Perang Modern yang diperkenalkan pertama kali oleh Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Ryamizard Rizacudu, ini kemudian disosialisasikan secara getol oleh Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Danseskoad), Mayjen. Syarifudin Tippe, S.IP., M.Si.

E. Apa Solusi Penangkalnya?
Menurut George Mac lean, seorang akademisi dari Manitoba University, Kanada, pada intinya tugas pengelolaan keamanan suatu negara memiliki dua tujuan esensial, yakni : (1) memelihara keutuhan wilayah negara dan intergritas nasional – tujuan keamanan ; dan (2) memastikan tersedianya barang-barang publik yang terdistribusi dengan baik bagi warga negara – tujuan kesejahteraan.
Dari pendapat Mac Lean tersebut kemudian dikaitkan dengan solusi dalam menangkal hakekat ancaman nasional bangsa Indonesia, maka yang perlu ditekankan saat ini adalah prioritas pada pendekatan kesejahteraan mengingat hakekat ancaman yang dihadapi adalah ancaman yang bersifat non tradisional alias berdimensi manusia, dan bukan pada pendekatan keamanan yang memfokuskan ancaman militer tradisional alias berdimensi teritorial.
Langkah-langkah yang harus diambil bangsa Indonesia dalam menangkal ancaman nasional non tradisional yang mengancam eksistensi keamanan manusia adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat State Building, Nation Building dan Character Building
State Building diperlukan untuk menciptakan supra struktur yang kuat sehingga lahir institusi-institusi demokratis yang kuat dalam menangkal setiap hakekat ancaman yang muncul.Nation Building dibutuhkan dalam rangka membangun civil society organization (CSO’s) sehingga dapat dijadikan ujung tombak dalam proses pendidikan multikultural tentang arti penting dari universalitas konsep keamanan manusia. Character Building diarahkan untuk membentuk karakter pribadi manusia Indonesia sehingga mampu djadikan filter dalam membentengi diri dari penetrasi asing yang tidak hanya bersifat fisik saja, melainkan telah melebar ke non fisik.
2. Program Capacity Building Untuk Demokrasi
Demokrasi yang didalamnya terdapat norma-norma inti seperti kebebasan individu, supremasi hukum, persamaan hak, dan akuntabilitas harus diterapkan ke dalam struktur bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi dapat memperbesar peluang bagi perlindungan serta implementasi kebijakan keamanan yang mengutamakan keamanan manusia. Oleh karena itu, untuk menyebarkan dan menginternaslisasi nilai-nilai demokrasi di masyarakat Indonesia harus disertai dengan proses capacity building yang di dalamnya terdapat penguatan struktur dan institusi yang demokratis. Pada titik ini, kapasitas/kapabilitas pemerintah dalam kaitannya dengan isu keamana manusia menjadi sangat penting. Kemampuan yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk menciptakan keamanan manusia adalah merumuskan local policing, local governance, kerjasama transnasional dan pendekatan legal, konstitusional serta yuridis.

F. Catatan Punutup
Dari serangkaian pembahasan di atas, terdapat beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam memahami hakekat ancaman nasional, khusunya pergeseran dari konsep national security menjadi human security.
Pertama, tipologi ancaman nasional setiap negara sangat bervariasi, mulai dari ancaman militer-ekternal, militer-internal, sampai dengan ancaman non militer-ekternal, non militer-internal. Secara konseptual, keempat tipe ancaman nasional tersebut dapat disebut sebagai ancaman keamanan tradisional dan ancaman keamanan non tradisional.
Kedua, Human Security merupakan sebuah konsep yang dapat dijadikan kerangka analisis untuk memahami perubahan hakekat ancaman nasional yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dingin. Konsep human security telah menggeser konsep national security yang telah dianut oleh negara-negara di dunia selama masa Perang Dingin.
Ketiga, ancaman nasional yang harus mendapatkan prioritas penanganan bagi bangsa Indonesia adalah ancaman non militer-internal dan non militer-ekternal. Kedua ancaman ini secara langsung dapat membahayakan eksistensi keamanan manusia yang saat ini telah menjadi tren global.
Keempat, solusi untuk menangkal ancaman nasional bangsa Indonesia, khususnya ancaman keamanan manusia adalah dengan : (1) memperkuat state building, nayion building dan character building; (2) program capacity building untuk demokrasi.

Catatan Kaki

Dirangkum dan diolah dari Ari Sujito dan Sutoro Eko (ed.), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, (Yogyakarta : IRE Press, 2002), hlm. 6-7.
Ibid.
Ada lima dimensi konsep keamanan, yakni : (1) the origin of threats; (2) the nature of threats ; (3) changing reponse; (4) changing responsibility of security; (5) core value of security. Dikutip dari Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No. 1, hlm. 71 – 72.
Pemahaman mendalam tentang pergeseran paradigma keamanan pasca Perang Dingin ini dapat dibaca pada Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991), hlm. 19 – 20.
Ibid.
Dikutip dari Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1, hlm. 47.
Ibid.
Ibid.
Landry Haryo Subianto, “Konsep Human Security : Tinjauan dan Prospek”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1, hlm. 106
Op. Cit.
Tentang terorisme dan kaitannya dengan konsep human security, baca Poltak Partogi Nainggolan, “Terorisme dan Perspektif Keamanan Pasca Perang Dingin, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1, hlm. 69 – 89.
Majalah Tempo, 27 September 2004, hlm. 57.
Ibid.
Menurut Komandan Seskoad ini, upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi ancaman Perang Modern, yang fokus serangannya pada eksistensi individu manusia dari rasa aman adalah dengan membentengi hati dan pikiran manusia melalui nilai-nilai spiritualitas. Nilai-nilai spiritualitas berfungsi sebagai filter yang akan menyaring dan membentengi diri dari berbagai penetrasi asing yang masuk melalui medium-medium IPOLEKSOSBUDHANKAM. Lihat Syarifudin Tippe, “Perang Modern”, makalah yang disampaikan dalam seminar ASPAC on ASET bertema Meningkatkan Kompetensi SDM Sebagai Pendidik, Pelatih, Peneliti & Pengembangan Yang Dilandasi Oleh Art, Science, Engineering, and Technology, yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung pada hari Kamis, 7 Oktober 2004 di Universitas Parahyangan Bandung
George Mac Lean, “The United Nations and the New Security Agenda”, dalam http://www.unac.org/canada/security/maclean.html.

DAFTAR PUSTAKA

Alfred Stephan, The Military in Politics : Changing Patterns in Brazil, (Princeton : Princeton University Press, 1971)

Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No. 1

Ari Sujito dan Sutoro Eko (ed.), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi, (Yogyakarta : IRE Press, 2002)

Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991)

Barry Possen, The Source of Military Doctrine, (Ithaca : Cornell University Press, 1994).

George Mac Lean, “The United Nations and the New Security Agenda”, dalam http://www.unac.org/canada/security/maclean.html.

Landry Haryo Subianto, “Konsep Human Security : Tinjauan dan Prospek”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1

Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1

Poltak Partogi Nainggolan, “Terorisme dan Perspektif Keamanan Pasca Perang Dingin, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No.1

Syarifudin Tippe, “Perang Modern”, makalah yang disampaikan dalam seminar ASPAC on ASET bertema Meningkatkan Kompetensi SDM Sebagai Pendidik, Pelatih, Peneliti & Pengembangan Yang Dilandasi Oleh Art, Science, Engineering, and Technology, yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Bandung pada hari Kamis, 7 Oktober 2004 di Universitas Parahyangan Bandung

Tempo, 27 September 2004

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung

Categories: Kajian TNI | Leave a comment

MENGURAI RELASI NEGARA DAN SWASTA DALAM PEMBANGUNAN


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Pengantar
Permasalahan utama yang menempati posisi kunci dalam perdebatan teori pembangunan dann kajian ekonomi politik adalah pertanyaan tentang siapa yang seharusnya menjadi aktor utama dalam pembangunan. Pada dasarnya ada dua aktor utama dalam pelaksanaan pembangunan, yaitu negara yang memegang sektor publik, dan masyarakat atau individu yang memegang sektor privat. Sejalan dengan perdebatan dalam sejarah ilmu ekonomi, pertanyaan utama yang akan dibahas adalah besaran porsi publik dan porsi privat dalam aktivitas pembangunan.
Tulisan ini akan dimulai dengan melacak dua kutub utama perdebatan besar dalam teori pembangunan, yaitu pandangan yang mendukung dominasi sektor publik dalam pembangunan dan pandangan yang mendukung dominasi sektor swasta dalam pembangunan. Uraian selanjutnya melihat adanya kecenderungan tampilnya “ekonomi campuran” (mixied economy) dalam hampir semua Negara Dunia Ketiga. Pembahasan kemudian diarahkan pada proyek privatisasi yang menggejala di berbagai negara. Di bagian akhir akan dianalisis munculnya gerakan civil society dengan beragam bentuknya sehingga mempengaruhi interaksi negara dan swasta dalam proses pembangunan.

”The Great Debate” dalam Teori Pembangunan
Perdebatan tentang seberapa besar seharusnya pemerintah berperan dalam penyediaan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan masyarakat, sudah menjadi topik serius sejak dikenalnya sistem pemerintahan modern. Di satu sisi, orang menganggap bahwa negara sama sekali tidak perlu melakukan campur tangan dalam penyediaan pelayanan terhadap masyarakat. Sementara di sisi lain, justru diyakini bahwa kehadiran negara itu mutlak diperlukan adanya.
Dalam perspektif yang paling liberal, kehadiran negara (yang direpresentasikan oleh pemerintah) hanya diperlukan untuk menjaga keamanan. Fungsi utama dari pemerintah hanyalah fungsi kepolisian, yakni fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Sementara itu, fungsi-fungsi lainnya sepenuhnya menjadi wewenang masyarakat, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun kaum pengusaha swasta. Kebutuhan-kebutuhan individu akan barang dan jasa disediakan sepenuhnya oleh pihak swasta. Dengan kata lain, apa yang sekarang kita temui sebagai perusahaan negara ataupun Perusahaan Daerah sama sekali tidak dikenal.
Perspektif ini membatasi fungsi pemerintah hanya pada fungsi ”sisa”, yaitu fungsi-fungsi penyediaan barang dan jasa yang tidak bisa disediakan oleh pihak-pihak di luar pemerintah. Artinya, pemenuhan kebutuhan hidup diawali dari tanggung jawab individu. Kalau penyediaan barang dan jasa bisa diselesaikan pada tingkatan individu, maka lebih baik disediakan oleh masing-masing individu. Kalau individu tidak tidak bisa menyediakan suatu barang dan jasa tertentu, maka dipikirkan untuk disediakan pada tingkat kelompok atau unit-unit sosial yang kecil, misalnya rukun ketetanggaan, dusun, dan lain-lain. Kalau unit sosial tidak mampu lagi menyediakan satu pelayanan tertentu, maka dipikirkan untuk disediakan oleh pemerintah lokal yang paling rendah. Kalau pemerintah lokal tidak mampu, maka tanggung jawab penyediaan pelayanan digulirkan ke atas, yakni Pemerintah Daerah. Kalau pemerintah Daerah tidak mampu, baru dilanjutkan kemungkinan penyediaannya oleh Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, pada prinsipnya fungsi pemerintah yang paling atas adalah ”sisa” dari fungsi yang tidak bisa dijalankan oleh unit pemerintahan tingkat bawahannya. Sementara itu, fungsi pemerintahan tingkat bawah adalah ”sisa” dari ketidakmampuan individu dan unit-unit sosial untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Perspektif ini melihat bahwa keterlibatan pemerintah yang terlalu banyak dalam pelayanan publik dianggap mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, hal ini akan mengganggu kesempurnaan mekanisme pasar yang dipercaya akan mampu mencapai efisiensi. Kedua, hal ini dianggap akan memperkecil kebebasan individu dan kelompok-kelompok masyarakat untuk menentukan kepentingan dan pilihannya sendiri yang pada gilirannya dianggap akan membahayakan demokrasi.
Pada kutub ekstrim lainnya, perspektif sosialis menganggap bahwa penetrasi pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa yang diperlukan oleh individu dan masyarakat adalah sangat mutlak dibutuhkan. Kalangan yang meyakini argumen ini percaya bahwa mekanisme pasar tidak bisa terlalu diandalkan untuk menjamin tercapainya efisiensi. Mereka berasumsi bahwa membiarkan persaingan berjalan bebas dalam mekanisme pasar sama saja dengan mendorong ketimpangan dalam distribusi kesejahteraan. Sebab kemampuan setiap orang untuk bersaing dalam mekanisme pasar itu tentu saja sangat berbeda-beda. Akibatnya, mereka yang kuat akan memenangkan persaingan dan akan memunculkan kemungkinan terjadinya praktek eksploitasi.
Maka dalam hal ini, kehadiran negara menjadi mutlak harus ada. Pemenuhan kebutuhan rakyat tidak bisa diserahkan kepada sektor non negara, karena hal itu bisa mengundang ketidakpastian dalam suplai dan harga. Seperti kita ketahui, hukum pasar yang menjadikan suplai dan demand sebagai penentu harga komoditas dapat menyebabkan kemampuan rakyat memenuhi kebutuhannya sangat fluktuatif. Oleh karena itu, harus ada tangan kuat yang mampu mengontrol hal itu, dan dengan demikian, posisi negara menjadi sangat penting peranannya.
Perbedaan karakter pemikiran yang menekankan pada peran negara (negara dominan) dan yang menekankan pada mekanisme pasar (swasta dominan) beberapa variasi antara keduanya dapat dilihat secara ringkas pada tabel berikut ini.

NO Variabel Swasta Dominan Negara Dominan

1 Suplier Produsen, Pengusaha, Distributor Politisi, Parpol, Birokrasi, Pemerintah

2 Demander Konsumen Pemilih (Voters)/Pemimpin Otoritarian

3 Jenis Komoditas Komoditas Individu (Private Goods) Komoditas Publik (Public Goods)

4 Alat Transaksi Uang Suara (Voters)/Kekuasaan & Pemaksaan

5 Jenis Transaksi Voluntary transaction (Sukarela)
Politics as exchange
Sumber : Diolah dari Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik : Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, (Jakarta : LP3ES, 1996), hlm. 50.

Praktek bersejarah yang mencerminkan perdebatan antara dominasi peran negara dan masyarakat dalam pembangunan yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut adalah sejarah industrialisasi di Inggris pada abad 18 dan industrialisasi di Rusia pada abad 20. Kasus Inggris menunjukkan dominasi peran swasta yang berjalan sendiri melalui mekanisme pasar, sementara kasus Rusia menunjukkan dominasi negara melalui mekanisme-mekanisme politik dalam melakukan industrialisasi (Kemp, 1989 : 1 – 59).

Trends Konvergensi : Mixed Economy
Terlepas dari perdebatan apakah negara sama sekali absen ataukah harus hadir penuh dalam urusan penyediaan kebutuhan barang dan pelayanan masyarakat, dalam kenyataannya negara tidak terhindarkan lagi pasti ada dan diperlukan. Menjadikan pemerintah hanya sebagai pihak yang menangani “sisa” persoalan yang tidak bisa diatasi sendiri oleh masyarakat barangkali hanya mungkin terjadi di masyarakat yang less modern atau bahkan tradisional. Dalam masyarakat semacam ini, sangat boleh jadi negara hanya hadir sebagai simbol adanya tatanan dalam masyarakat, agar masyarakat itu tidak hidup dalam kondisi yang anarkis (tanpa pemimpin atau tanpa pemerintahan/aturan).
Barangkali kita bisa mengambil contoh masyarakat Jawa tradisional, dimana kerajaan hadir kebanyakan hanya untuk memberi simbol adanya tatanan, sementara masyarakat terutama yang jauh dari keraton senantiasa bertindak sebagai penyedia kebutuhan materialnya sendiri. Bahkan, seringkali masyarakat juga yang menjadi penyedia kebutuhan keraton dengan mekanisme upeti sebesar sepersepuluh hasil pertaniannya.
Sedangkan di dalam masyarakat yang kian modern, kehadiran negara dalam urusan penyediaan kebutuhan masyarakat menjadi sangat tak teralakan. Perbedaan kehadiran negara itu antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya hanya pada soal porsi dan intensitasnya saja. Paling tidak kita bisa membuat perbedaan ekstrim antara masyarakat yang liebarlistik dan sosialistik.
Secara umum, instrumen intervensi pemerintah dalam hal itu bisa dikelompokkan paling tidak dalam empat kategori : (1) government provision; (2) government production; (3) subsidi; dan (4) regulasi. Government provision adalah bentuk intervensi negara dimana pemerintah menyediakan pelayanan kepada masyarakat tanpa melakukan pemungutan kepada individu-individu yang menikmatinya. Sebagai contoh, pembuatan sarana infrastruktur jalan umum. Sarana jalan umum ini tentu berbeda dengan jalan tol yang mengharuskan orang membayar biaya tertentu setiap kali menggunakannya. Sebabnya adalah karena pembiayaan untuk penyediaan pelayanan ini dibebankan kepada pajak. Artinya, semua pembayar pajak menanggung beban pembiayaan tersebut.
Dalam Government Production, pemerintah ikut memproduksi barang dan jasa sebagaimana pelaku-pelaku bisnis swasta. Fungsi tersebut dipikul oleh perusahaan negara atau badan hukum milik negara (BUMN), atau pada tingkat lokal kita bisa menemuinya dalam bentuk perusahaan daerah. Di sini, pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dilakukan pemerintah dibarengi dengan pungutan terhadap penggunanya.
Jika tidak memproduksi barang dan jasa secara langsung, maka pemerintah bisa mengambil bagian dalam penyediaan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dengan memberikan subdisi. Di sini, pemenuhan barang dan jasa masyarakat itu sepenuhnya dilakukan oleh individu ataupun sektor swasta. Namun pemerintah ikut menentukan kebijakan pelayanan melalui alokasi subsidi, baik kepada pihak produsen pelayanan maupun pihak konsumen. Subsidi kepada pihak produsen pelayanan bisa berupa pembebasan mereka dari pajak yang mungkin bertujuan untuk menurunkan biaya produksi dalam rangka menurunkan harga sehingga bisa dijangkau masyarakat luas.
Keterlibatan pemerintah secara langsung dalam penyediaan barang dan jasa, selain dalam bentuk pemberian subsidi bisa pula berupa pembuatan kebijakan pelayanan melalui regulasi yang ditujukan baik kepada pihak produsen pelayanan maupun pihak konsumen. Kita bisa mengambil contoh ketentuan yang dibuat oleh pemerintah agar setiap pengembang yang membangun perumahan juga membuat rumah sederhanan dan rumah sangat sederhana (RS dan RSS) sebanyak minimal sekian persen dari total perumahan yang dibangunnya. Dengan cara ini diharapkan pemerintah bisa menjamin tersedianya perumahan untuk kalangan menengah ke bawah, walaupun pemerintah tidak terlibat dalam pembangunannya.

Proyek Privatisasi & Less Government
Dalam beberapa tahun terakhir ini, hempasan dan gugatan terhadap dominasi pemerintah dalam pelayanan publik semakin deras, terutama ditandai dengan semakin gencarnya gerakan privatisasi. Melalui ”proyek”privatisasi ini, pelayanan publik yang semula disediakan dan dikelola secara langsung oleh pemerintah, kemudian dialihkan sebagian atau semuanya ke sektor swasta. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, perusahaan negara yang tadinya dibawah kendali langsung pemerintah, kemudian dijual kepada pihak swasta. Dalam bentuknya yang lebih lunak, gerakan privatiasi ini bisa berupa ajakan keterlibatan swasta dalam pelayanan umum dengan tetap mempertahankan keterlibatan pihak pemerintah. Dengan kata lain, esensi privatisasi di sini adalah pengurangan peran langsung pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik.
Salah satu negara yang terkenal melaksanakan program prvatisasi ini adalah Inggris sejak akhir dekade 1980-an. Di bawah Perdana Menteri Margaret Tatcher yang melaksanakan proyek ”penjualan” perusahaan-perusahaan negara kepada sektor swasta. Gerakan privatisasi besar-besaran ini kemudian disebut dengan ”Tatcherism”.
Kebijakan Inggris ini kemudian diikuti oleh negara-negara maju lainnya di Eropa dan Amerika Utara, dan kemudian juga oleh banyak negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia yang melaksanakan proses privatisasi pada awal tahun 1990-an.
Secara awam seringkali privatisasi diartikan sebagai bentuk penjualan perusahaan negara kepada swasta. Di kalangan akademisi, definisi semacam ini tidak lagi dipergunakan. Secara umum disepakati bahwa istilah privatisasi mempunyai pengertian yang sangat luas. Privatisasi diartikan sebagai upaya untuk memperbesar peluang yang bisa dilakukan oleh sektor swasta dalam rangka peningkatan efisiensi ekonomi melalui kompetisi dalam produksi. Oleh karena itu, bentuk-bentuk aktivitas seperti contracting-out juga dipandang sebagai salah satu bentuk privatisasi.
Seperti dikemukakan oleh Savas, paling tidak terdapat empat alasan utama yang mendorong dan mendukung privatisasi sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini :

Landasan Tujuan Alasan
Pragmatis Pemerintah yang lebih baik (better government) Privatisasi berarti menciptakan pelayanan publik yang lebih murah (cost effective)
Ideologis Lingkup Pemerintahan yang kecil (less goverment) Pemerintah terlalu besar, terlalu kuat dan terlalu banyak intervensi akan bahayakan demokrasi. Sebab, keputusan pemerintah bersifat politis sehingga kurang bis adipercaya dibanding mekanisme pasar bebas.
Komersial Kehidupan bisnis yang lebih besar (more bussiness) Penggalian anggaran belanja pemerintah ke sektor swasta akan lebih menghidupkan bisnis. Anggaran yang selama ini digunakan perusahaan negara akan termanfaatkan lebih baik bila dikelola swasta
Populis Masyarakat yang lebih baik Masyarakat harus punya pilihan lebih banyak dalam pelayanan publik. Mereka harus diberdayakan untuk menentukan dan menyediakan kepentingan bersama
Sumber : Disadur dari E.S. Savas, Privatization : The Key to Better Government, (Chatam – New Jersey : Chatam House Publisher, 1987), hlm. 5

Di samping alasan-alasan di atas, Hughes mengatakan bahwa privatisasi pada akhirnya akan membawa implikasi pada penurunan pajak yang harus dibayar oleh masyarakat, menurunkan subsidi pemerintah kepada pihak swasta dan masyarakat, serta pengurangan regulasi-regulasi pemerintah yang secara umum dianggap tidak menguntungkan masyarakat.

Gerakan Civil Society & Good Governance
Seiring dengan perkembangan arus demokratisasi yang melanda di seluruh pelosok dunia, muncul gerakan masyarakat sipil (civil society movement) yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses pemerintahan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh adanya low trust society terhadap aparat birokrasi pemerintahan yang dianggap membuat kebijakan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat sebagai stake holder (pemangku kepentingan). Kepercayaan adalah merupakan salah satu modal sosial (social capital) yang diperlukan bagi tetap tegaknya tertib sosial dalam mekanisme hubungan pemerintah dengan rakyatnya.
Partisipasi masyarakat yang terepresentasikan dalam – salah satunya – NGO/LSM ini kemudian memunculkan konsep baru dalam tata pemerintahan yang dikenal dengan sebutan “good governance” atau tata kepemerintahan yang baik. Konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh World Bank ini kemudian menjadi semacam “manifesto” politik yang selalu didengung-dengungkan oleh berbagai negara dan NGO asing untuk dipromosikan ke negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut World Bank, yang dimaksud dengan konsep governance adalah : “the way state power is used in managing economic and social resources for development society”. Dari definisi tersebut dapat diperoleh sebuah gambaran bahwa arti dari governance adalah cara bagaimana kekuasaan negara digunakan untk mengelola sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. “Cara” disini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis.
Senada dengan pendapat World Bank di atas, UNDP mengemukakan bahwa definisi governance adalah : “the exercise of plitical, economic and administrative authority to manage a nation’s affairs at all levels”. Artinya, kata governance merujuk pada penggunaan atau pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik, ekonomi, dan adminsitratif untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua tingkatan. Di sini tekanannya pada kewenangan, kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berbicara tentang kewenangan berarti menyangkut domain sektor publik, bukan sektor privat.
Berdasarkan definisi UNDP di atas, governance mempunyai tiga kaki , yakni politik, ekonomi, dan administrasi, yakni :
1. Economic Governance. Artinya, tata pemerintahan yang meliputi semua proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interkasi di antara penyelenggara ekonomi. Sektor pemerintah di harapkan tidak terlalu tercampur tangan dalam sektor ekonomi dan pasar, karena intervensi pemerintah ke dalam pasar hanya akan menciptakan distorsi pasar.
2. Political Governance. Artinya, tata pemerintahan yang meliputi proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik, baik yang dilakukan oleh birokrasi maupun antara birokrasi dengan politisi. Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan tidak hanya pada tataran implementasi kebijakan saja, melainkan mulai dari formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan.
3. Administrative Governance. Artinya, tata pemerintahan yang merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik yang sah.

Masih berkaitan dengan hal di atas, menurut UNDP, governance memiliki tiga domain, yaitu (1) Negara atau Pemerintah (state); (2) Sektor swasta atau dunia usaha (private sector); (3) Masyarakat (society).
Ketiga domain tersebut saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Sektor pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, seperti pembuatan keputusan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan dengan menggerakkan aktifitas-aktifitas ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktifitas ekonomi, sosial dan politik. Di sini sektor pemerintah menjadi subyek sekaligus obyek dari sektor pemerintah dan sektor swasta. Berikut ini adalah gambar hubungan antara ketiga sektor tersebut :

Gambar
Hubungan antara Negara, Swasta, dan Masyarakat.

Apabila proses Governance yang dijalankan oleh ketiga domain tersebut berlangsung selaras, serasi dan seimbang, maka governance tersebut masuk dalam kategori yang baik (good). Oleh karena itu, perpaduan antara konsep good dan konsep governace menciptakan sebuah konsep yang terkenal dewasa ini, yakni good governace (tata kepemerintahan yang baik).
Arti good dalam good governance meliputi dua pemahaman sebai berikut : Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelakanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan demikian, tata pemerintahan yang baik (Good Governance) adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masayarakat madani dan sektor swasta. Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu dibangun dialog antara pelaku-pelaku penting dalam negara, agar semua pihak merasa memiliki tata pengaturan tersebut. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari dialog ini, kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi tersumbat.
Tata Pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses, dan Lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Tata pemerintahan yang baik bukanlah satu hal yang baru. Nabi Muhammad S.A.W telah mempraktekkan tata pemerintahan semacam ini di Madinah. Di berbagai pelosok Nusantara, seperti di Sumatra Barat, Bali, dan banyak Daerah lainnya, Masyarakat tradisional telah menerapkan tata pemerintahan yang baik. Konsep yang kini dikemas dalam kata-kata modern ini semenjak dahulu sesungguhnya telah dijalankan di tingkat desa di hampir semua daerah di Indonesia.
Setelah mengetahui definisi governance dan good governance di atas, akan diuraikan pula tentang perbedaan antara governance dan government. Tabel 1 berikut ini akan menjelaskan secara jelas perbedaan di antara keduanya.
Tabel
Perbedaan antara Governance dan Government
No. Unsur Perbandingan Government Governance
1 Pengertian Dapat berarti badan/lembaga atau fungsi yang dijalankan oleh suatu organisasi tertinggi dalam suatu negara Dapat berarti cara, penggunaan atau pelaksanaan
2 Sifat Hubungan Hirarkis, dalam arti yang memerintah berada di atas, sedangkan warga negara yang diperintah ada dibawah Heterarkis, dalam arti ada kesetaraan kedudukan dan hanya berbeda dalam fungsi
3 Komponen yang terlibat Sebagai subyek hanya ada satu institusi, yaitu institusi pemerintahan Ada tiga komponen yang terlibat, yaitu :
1) Sektor publik
2) Sektor Swasta
3) Masyarakat
4 Pemegang peran yang dominan Sektor Pemerintah Semua memegang peran sesuai dengan fusnginya masing-masing
5 Efek yang diharapkan Kepatuhan warga negara Partisipasi warga negara
6 Hasil akhir yang diharapkan Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara Pencapaian tujuan negara dan tujuan masyarakat melalui partisipasi sebagai warga negara maupun sebagai masyarakat
7 Format dan Substansi (Format & Substance) Berisi lembaga dan personil (Bentuk). Artinya, berisi lembaga-lembaga dan struktur-struktur politik, seperti legislatif, eksekutif, yudikatif ; dan Pejabat-pejabat politik, seperti presiden, perdana menteri, dan menteri Berisi Kegiatan da proses pemerintahan (Isi). Artinya, berisi manajemen dan kualitas memerintah. Bukan struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektifitas penerapan kebijakan itu.
Sumber : Dikutip dari Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Bandung : Fokus Media, 2002), hlm. 32; Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politik Pembangunan, Dikatat Kuliah, (Yogyakarta : Pascasarjana UGM, 2001), hlm. 276-277.

Catatan Penutup
Perdebatan antara state oriented dan market oriented dalam khazanah teori pembangunan dan kajian ekonomi politik selalu menarik untuk didiskusikan karena mengandung makna yang mendalam dan memuat logika filosofi mendasar. Secara normatif kedua pemikiran ekstrim ini dapat dipisahkan dengan tegas, namun dalam praktek pelaksanaannya, tidak ada satu negarapun yang bisa melaksanakan salah satu dari pemikiran ekstrim tersebut sehingga yang terjadi adalah modifikasi antara kedua pemikiran dengan besaran prosentase yang bervariasi masing-masing negara.
Namun, realitas menunjukkan bahwa sebagias besar negara-negara didunia dalam praktek pemerintahannya lebih kepada ”market heavy” dibanding ”state heavy”. Hal ini disebabkan oleh munculnya berbagai program privatisasi yang digalakkan oleh negara-negara Barat sehingga menyebabkan apa yang dinamakan dengan ”less government”. Prinsipnya adalah ”the best government is the less government”.
Hampir bersamaan dengan itu, muncul gerakan civil society yang mengemuka didalam praktek pemerintahan dan kebijakan publik sehingga memunculkan konsepsi ”good governance” dimana terdapat kemitraan tiga pihak – negara, pasar, dan rakyat – dalam mengelola praktek pemerintahan, khususnya partisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Sebuah konsep yang saat ini menjadi ”trends” di kalangan praktisi pemerintahan, khususnya yang menggeluti kebijakan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik : Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, (Jakarta : LP3ES, 1996)

E.S. Savas, Privatization : The Key to Better Government, (Chatam – New Jersey : Chatam House Publisher, 1987)
Francis Fukuyama, The Great Disruption : Human Nature and the Reconstruction of Social Order, (New York : The Free Press, 1999).
Marc Holzer & Kathe Callahan, Government at Work, (California : The Sage Publications, 1998).

Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politik Pembangunan, Dikatat Kuliah, (Yogyakarta : Pascasarjana UGM, 2001)
Owen E. Hughes, Public Management and Administration, (New York : St. Martin’s Press, 1996).
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Bandung : Fokus Media, 2002)
Sedarmayanti, Good Governance (Tata Kepemerintahan yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah, (Bandung : Mandar maju, 2003)
Suzanne Taschereau dan Jose Edgardo L. Campos, Building Government-Citizens-Business Partnerships, (Ottowa, Canada : Institute of Governance, 1997).
United Nations Development Programme, Participatory Local Governance, Technical Advisory Paper I, Local Initiative Facility for Urban Environment (LIFE), (New York : 1997).

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi

Categories: Studi Politik | Leave a comment

PRIVATISASI PELAYANAN PUBLIK : MUNGKINKAH?


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Abstrak
Tulisan ini membedah birokrasi yang berfungsi sebagai penyedia pelayanan publik dan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Potret buram pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi acapkali kontraproduktif dengan upaya untuk menghadirkan investor, asing maupun domestik. Di satu sisi, pemerintah getol menggaet investor untuk menanamkan modal di daerahnya, namun di sisi lain, pemerintah kurang optimal dalam mendisiplinkan birokrasi agar ramah terhadap investor. Oleh karena itu, privatisasi adalah alternatif solusi yang menggoda setiap pihak untuk menerapkannya. Privatisasi pelayanan publik hadir dan menebar pesona di tengah kegagalan birokrasi menjalankan fungsi pelayanan publik.
Kata Kunci : Birokrasi, Pelayanan Publik, Privatisasi, dan Outsourcing.

Pengantar
Berbicara tentang birokrasi yang menjalankan fungsi sebagai pelayanan publik sangat menarik. Ilustrasi di bawah ini akan menunjukkan keunikan birokrasi pemerintahan sebagai berikut :
‘Ketika seorang warga negara yang tinggal di suatu daerah ingin membuat KTP dengan mengurusnya di daerah bersangkutan, warga negara tersebut mendapati pelayanan birokrasi yang lama, lambat, rumit, dan mahal. Namun demikian, warga negara tersebut tidak bisa berpaling ke daerah lain yang dianggap lebih cepat, sederhana, dan murah, untuk mengurus KTP. Meskipun lambat, lama, rumit dan mahal, warga negara tersebut mau tidak mau, suka tidak suka, harus mengurus KTP di daerah tersebut.’

Berikut ini juga ilustrasi tentang betapa mempesonanya birokrasi perusahaan (swasta) ketika menawarkan produknya :
‘Seorang Sales Promotion Girls (SPG) sebagai representasi dari birokrasi perusahaan kartu kredit (Credit Card) memasarkan produknya dengan menawarkannya di Pusat Perbelanjaan, Pusat Perkantoran dan Perumahan Penduduk. Bahkan SPG ini juga menelpon setiap masyarakat untuk membuat Kartu Kredit secara on line dan door to door. Suatu ketika seseorang bertanya kepada SPG tersebut : mengapa anda menawarkan produk kartu kredit dengan menjemput bola ke konsumen? Jawabannya adalah : khawatir dan takut kalau konsumen memilih dan membuat kartu kredit dari perusahaan lain. Oleh karena itu, SPG harus memegang konsep : konsumen adalah raja. Orang yang bertanya kepada SPG tadi kemudian bergumam : alangkah indahnya jika petugas birokrasi pemerintahan seperti SPG ini, yang selalu menanyakan ke rumah-rumah untuk menawarkan diri dalam membuatkan KTP’.

Pelayanan publik adalah hak warganegara, dan negara wajib menyediakannya. Namun pada kenyataannya, negara belum bisa menyediakan pelayanan publik yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Sebagai jalan keluar, masyarakat berinisiatif mencari alternatif lain untuk mendapatkan apa yang semestinya diperoleh dari negara.
Sejumlah kegiatan dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya yang berbeda-beda. Hal ini tentu saja menumbuhkan keberagaman dalam aktivitas partisipatif yang dilakukan masyarakat. Keanekaragaman itu tentu saja bisa menjadi sumber inspirasi, dan pembelajaran bagi masyarakat maupun para pengambil kebijakan.
Secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan-kegiatan partisipatif dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik telah meringankan beban negara. Meski demikian, semestinya itu tidak dijadikan alasan bagi negara untuk sepenuhnya menyerahkan pelayanan publik kepada masyarakat. Terlebih, konstitusi mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar warganegaranya.
Negara, seperti halnya warganegara, harus mampu memposisikan persoalan pelayanan publik pada tempat yang semestinya. Itu bisa dilakukan jika masing-masing mampu memahami secara jernih konsep-konsep pelayanan publik. Dengan demikian partisipasi warga, tidak bergeser menjadi mobilisasi warga yang justru jauh dari tujuannya, yakni menciptakan partisipasi publik melalui ruang publik.
Berangkat dari kerangka pemikiran tersebut, tulisan ini ingin menguraikan tentang potret pelayanan publik yang dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, sekaligus mencari model ideal pelayanan publik yang efektif dan efisien. Agar supaya sistematis dan runtut, tulisan ini diawali dengan pertanyaan-pertanyan yang akan dijawab dalam tulisan ini, yakni : Bagaimana kondisi pelayanan publik yang dijalankan pemerintah?. Bagaimana dengan pelayanan publik berbasis e-government? Apa solusi untuk meningkatkan pelayanan publik? Bagaimana dengan model outsourcing?

Potret Buram Pelayanan Publik
Pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah saat ini dapat dikatakan masih jauh dari apa yang diharapkan. Meskipun pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang sangat banyak, namun potret buram pelayanan publik masih sangat kentara di berbagai pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, tidak kurang dilakukan berbagai pelatihan, pendidikan, simulasi dan evaluasi berkala dalam pelayanan publik, akan tetapi hasil masih sangat jauh dari kata memuaskan.
Potret buram pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah bisa dilihat dari aspek berikut ini : (1) Prosedur pelayanan yang masih berbelit-belit dan rumit sehingga perlu disederhanakan aturan dan mekanismenya; (2) Persyaratan pelayanan yang masih sulit untuk diakses, khususnya persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya; (3) Kejelasan petugas pelayanan yang tidak jelas dan tidak lengkap, seperti nama, jabatan serta kewenangan dan tanggungjawabnya; (4) Kedisiplinan petugas pelayanan yang menunjukkan kurangnya kesungguhan dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku; (5) Tanggung jawab petugas pelayanan yang kurang menunjukkan kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan;
(6) Kemampuan petugas pelayanan yang masih sangat jauh dari standar minimal, sehingga mempengaruhi dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat; (7) Kecepatan pelayanan yang masih sangat lambat dalam mennyelesaikan pelayanan yang telah ditentukan oleh unit penyelenggaran pelayanan; (8) Keadilan mendapatkan pelayanan yang masih membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani; (9) Kesopanan dan keramahan petugas yang masih kurang sopan dan kurang ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; (10) Kewajaran biaya pelayanan yang masih dianggap mahal dan kurang terjangkau masyarakat dan bahkan lebih besar biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;
(11) Kepastian biaya pelayanan yang masih belum cocok antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan; (12) Kepastian jadual pelayanan yang masih berbeda antara jadwal yang ditetapkan dengan prakteknya; (13) Kenyamanan lingkungan dimana kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang masih kurang bersih, kurang rapi dan kurang teratur sehingga dapat mengganggu rasa nyaman kepada penerima pelayanan; (14) Keamanan pelayanan yang masih kurang diperhatikan dan tidak medapatkan prioritas.
Melihat realitas pelayanan publik seperti tergambar di atas, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah masih perlu ditingkatkan, mengingat pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap kehadiran investor asing. Pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah akan mempengaruhi minat para investor dalam menanamkan modalnya di suatu daerah. Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendesain struktur organisasi di pemerintah daerah. Dunia usaha menginginkan pelayanan yang cepat, tepat, mudah dan murah serta tariff yang jelas dan pasti. Pemerintah perlu menyusun Standard Pelayanan bagi setiap institusi (Dinas) di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, utamanya dinas yang mengeluarkan perizinan bagi pelaku bisnis.
Perizinan berbagai sektor usaha harus didesain sedemikian rupa agar pengusaha tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengurus izin usaha, sehingga tidak mengorbankan waktu dan biaya besar hanya untuk mengurus perizinan. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secra berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat.
Dengan demikian, pelayanan memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga loyalitas investor, demikian pula halnya pelayanan yang diberikan oleh pemda kepada para pelaku bisnis. Bila merasa tidak mendapat pelayanan yang memuaskan, maka mereka akan dengan segera mencari daerah lain yang lebih kompetitif untuk memindahkan usahanya.

Utopia E-government
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, diharapkan birokrasi publik dapat mengambil peluang dan manfaat dari perkembangan itu. Dalam kaitan itu, birokrasi publik harus menciptakan sistem manajemen pelayanan publik yang berbasis pada internet, yaitu dengan menerapkan E-Government (Electronic Government). E-Government adalah upaya meningkatkan produktifitas, efisiensi, dan transparansi manajemen pemerintahan melalui teknologi jaringan (web).
Keuntungan dari birokrasi publik yang menerapkan E-government ini adalah : (1) peningkatan kualitas pelayanan . Artinya, waktu pelayanan publik berlangsung selama 24 jam penuh, berkat adanya teknologi internet; (2) mengurangi paperwork sehingga lebih efisien dan hemat; (3) database dan proses terintegrasi. Artinya, proses akurasi data lebih tinggi dan mengurangi kesalahan identitas; (4) semua proses layanan berjalan transparan dan on line.
Namun, kendala diterapkannya E- Government ini adalah sumber daya manusia yang terbatas pengetahuannya tentang teknologi informasi (IT,Information technology) dan kurangnya kesadaran birokrasi terhadap teknologi informasi dari aparatur pemerintahan. Realitas menunjukkan bahwa masih banyak para petugas pelayanan publik yang belum mampu untuk mengoperasionalkan Komputer dan Internet. Biaya untuk menerapkan program e-government juga sangat mahal karena diperlukan perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak (soft ware) yang cukup untuk unit kerja masing-masing pelayanan.
Hal ini diperparah dengan masih adanya masyarakat penggunan pelayanan yang sedikit banyak belum paham tentang aturan, mekanisme dan teknis penggunaan program e-government. Sehingga sampai saat ini, program e-government yang dilakukan sebatas pada pemberian informasi pemerintah kepada publik yang ditampilkan dalam situs web masing-masing Pemerintah Daerah, sehingga belum digunakan untuk melayani masyarakat dalam pembuatan KTP, Akte kelahiran, IMB dan lain-lain.
Bahkan, website-website yang dimiliki oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih bersifat out to date dan belum up to date. Sehingga diperlukan pengelolaaan system informasi website yang jelas dan professional dari birokrasi publik sebagai penyedia pelayanan publik. Website belum digunakan dalam pelayanan publik dan hanya sekadar formalitas penyampaian informasi umum kepada masyarakat. Informasi khusus seperti daftar kegiatan yang harus dikerjakan pihak ketiga, prosedur tender, dan hal-hal seputar pengadaan barang dan jasa masih belum ditampilkan dalam website.
Dengan demikian, e-government dalam konteks digunakan untuk pelayanan publik masih jauh dari harapan. E-government masih sebatas utopia yang akan selalu menjadi jargon politik birokrasi mengenai birokrasi yang ideal. Celakanya lagi, ada sebagian birokrasi publik yang kurang setuju dengan pelaksanaan e-government karena dianggap akan mematikan ‘pendapatan sampingan’ mereka.

Privatisasi : Mungkinkah?
Meskipun organisasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis akan tetapi paradigma beru Administrasi Publik yang dipelopori oleh Ted Gabler dan David Osborne dengan karyanya “REINVENTING GOVERNMENT” telah memberikan inspirasi bahwa administrasi publik harus dapat beroperasi layaknya organisasi bisnis, yakni lebih efisien, efektif dan menempatkan masyarakat sebagai stake holder yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.
Menanggapi kegagalan birokrasi dalam memberi layanan publik yang memadai, banyak pihak tergoda menawarkan solusi ‘privatisasi’. Privatisasi telah dianggap obat mujarab yang bersifat generik. Manjur untuk menyembuhkan segala penyakit. Studi-studi Bank Dunia acap kali mampu menunjukkan pokok perkara dengan amat jelas mengenai permasalahan pelayanan publik yang dilakukan birokrasi publik.
Jika dieksplorasi dengan rentetan kebijakan yang telah direkomendasikan, mungkin saja Bank Dunia akan merekomendasi untuk memprivatisasi birokrasi di Indonesia. Logikanya sederhana, karena birokrasi gagal menyediakan layanan publik, maka serahkan saja pada swasta untuk mengelola layanan publik.
Privatisasi sebagai model pengelolaan (mode of governance) sedang menjadi kecenderungan global, seiring gejala liberalisasi dan globalisasi. Pertama, investasi dan perdagangan sebagai realisasi dari pemulihan ekonomi tidak akan pernah tercapai jika tidak ada dukungan birokrasi yang menyediakan layanan publik yang memadai. Kedua, pelayanan publik yang efektif dan efisien akan sangat membantu dalam proses aktivitas ekonomi sehingga akan mampu menekan biaya ekonomi yang tinggi (high cost economy). Ketiga, privatisasi telah dipraktekkan di negara-negara Barat, khususnya Inggris dan AS dan terbukti berhasil meningkatkan pembangunan ekonomi nasionalnya.
Dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan di Indonesia, dari sudut pandang biaya transaksi, solusi paling rasional adalah menyerahkan divisi pelayanan publik kepada pihak swasta. Kita lebih sering diuntungkan dengan bantuan agen untuk pengurusan SIM, KTP, Akta Kelahiran, dan Akta Perkawinan. Hadirnya agen swasta dalam pelayanan publik merugikan dua pihak, penerimaan negara dan biaya tinggi bagi konsumen. Hal ini disebabkan karena rendahnya kualitas pelayanan publik, maka biaya transaksinya menjadi berlipat-lipat.
Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, negara-negara maju memulai langkah dalam reformasi sistem pemerintahannya dengan mendefinisikan ulang peran pemerintah dalam konteks pasar maupun masyarakat. Dengan pendefinisian ulang peran pemerintah itu, maka diketahui mana sektor-sektor yang memang layak dipertahankan untuk diurus oleh negara dan mana yang bisa diserahkan pengelolaannya baik kepada pasar maupun kepada masyarakat.
Di Inggris misalnya, Perdana Menteri Margaret Thatcher memulai dengan memunculkan wacana privatisasi baik dalam arti menswastakan sektor-sektor pemerintah yang memang sudah harus diserahkan pada mekanisme pasar, maupun dengan memperkenalkan sistem manajemen perusahaan swasta dalam sistem menajamen pemerintahan. Ide swastanisasi berkembang kemudian tidak saja di dataran Eropa Barat, melainkan juga beralih ke Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan maupun George Bush. Bahkan negara-negara berkembang pun mulai melakukan itu, terutama dalam dekade tahun 90-an, meskipun dalam kondisi sektor swasta yang stagnan.
Hal yang menarik dicermati adalah munculnya kembali ide tersebut dalam konteks reformasi Pemerintahan Daerah di Indonesia setelah desentralisasi diberlakukan. Kebutuhan untuk menyediakan pelayanan publik yang efektif dan efisien telah membuat sebagian Pemerintahan Daerah mencoba menswastakan sektor-sektor pelayanan dasar bagi masyarakat seperti PDAM, PD Kebersihan dan Pelayanan lainnya. Berbagai reaksi dari pihak-pihak yang terkait dengan berbagai pelayanan tersebut kemudian muncul, misalnya dalam bentuk demonstrasi, pernyataan sikap maupun hearing di DPRD. Fenomena yang muncul kemudian adalah terjadinya perbenturan antara kepentingan swastanisasi versus kepentingan ketenagakerjaan pada masing-masing penyedia pelayanan publik.
Namun demikian, privatisasi pelayanan publik untuk jangka panjang sangat bagus jika diterapkan di Indonesia mengingat lemahnya birokrasi publik dalam menyediakan pelayanan publik. Yang menjadi prioritas jika privatisasi dijalankan adalah bagaimana kontrol dan pengawasan pemerintah terhadap pihak swasta yang menjalankan pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap pelayanan publik yang diprivatisasi tidak akan memihak pada masyarakat bawah. Pemerintah akan melakukan fungsi pengawasan secara terus menerus terhadap pihak swasta yang diberikan kewenangan untuk menyediakan pelayanan publik tersebut.

Outsourcing : Pengalaman Ideal
Pengalaman di banyak perusahaan multinasional yang berpusat di AS dan Eropa Barat menunjukkan bahwa terdapat sektor-sektor tertentu yang ditangani oleh pihak ketiga, misalnya dalam hal unit Cleaning Services yang diserahkan kepada pihak ketiga, yang sebenarnya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang cleaning service, untuk menanganinya dan bukan diserahkan kepada pegawai dalam perusahaan tersebut. Pihak perusahaan menganggap bahwa menunjuk pihak ketiga akan lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan membuat unit kerja tersendiri dengan cara merekrut pegawai yang tentunya akan jauh lebih mahal. Model inilah yang kemudian dikenal dengan nama : Outsourcing.
Model inilah yang dalam perkembangannya ditiru dan diterapkan oleh pemerintahannya, baik di AS dan Eropa Barat, untuk menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakatnya. Pelayanan publik yang dianggap efektif dan efisien untuk diserahkan ke pihak ketiga didata dan diinventarisir. Unit-unit pemerintahan, seperti penanganan terhadap kebersihan, sarana air, perparkiran, dan pengelolaan sampah diserahkan kepada pihak ketiga untuk mengelolanya.
Hasilnya, terbukti efektif dan efisien. Bahkan, pihak ketiga mampu memenuhi target sesuai apa yang dijanjikan dalam perjanjian dengan pihak pemerintah. Pemerintah tidak perlu repot-repot mengurusi pelayanan publik, namun menerima hasil dari pengelolaan pelayanan publik, yang nantinya dikembalikan lagi kepada masyarakat dengan pembangunan infrastruktur dan sarana prasaran masyarakat.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah model outsourcing layak untuk diterapkan di Indonesia? Jawabnya adalah sangat layak untuk diterapkan di saat birokrasi publik mengalami kegagalan dalam menyediakan pelayanan publik. Sudah saatnya, pemerintah mengidentifikasi unit-unit pelayanan yang bias diserahkan kepada pihak ketiga untuk pengelolaannya sehingga akan tercipta efektivitas dan efisiensi dalam kerangka melahirkan birokrasi publik yang professional dalam konteks good governance.

DAFTAR PUSTAKA
Amy Y.S. Rahayu, ‘Fenomena Sektor Publik dan Era Service Quality’, dalam Bisnis dan Birokrasi, No. 1/Vol. III/April/1997.

Azhar Kasim, Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, (Jakarta : Lembaga Penerbit FEUI bekerjasama dengan Pusat antar universitas Ilmu-ilmu Sosial UI, 1993).

Keputusan Nomor Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Nicholas C. Burkholder, Outsourcing : The Definitive View, Applications, and Implications, (New Jersey : Jons Willey & Sons,Inc., 2006).

Pantius D Soeling, ‘Pemberdayaan SDM untuk Peningkatan Pelayanan’, dalam Bisnis Birokrasi, No. 2/Vol III/Agustus/1997.

Suhirman dan Wagiyo (Penyunting), Merumuskan Konsep dan Praktek Partisipasi Warga dalam Pelayanan Publik, (Bandung : Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat, 2006).

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si. Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi

Categories: Studi Politik | Leave a comment

SISTEM PERTAHANAN RAKYAT SEMESTA DI DAERAH PERBATASAN


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Abstrak
Tulisan ini mengupas tentang sistem pertahanan negara Indonesia yang mendasarkan pada sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, khususnya jika diaplikasikan di wilayah perbatasan sebagai garis / lini terdepan pertahanan negara, dalam menghadapi setiap ancaman musuh. Dinamika dan spektrum ancaman yang berubah membuat diperlukannya perumusan pertahanan nir militer di daerah perbatasan dimana peran rakyat sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara sangat diperlukan keterlibatannya.
Kata Kunci : Sishankamrata, daerah perbatasan, dan pertahanan nir militer.

Pendahuluan
Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai komponen cadangan dan pendukung, dimana setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan negara.
Selaras dengan hal itu, UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta (sishanta) yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Selanjutnya, UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI menegaskan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).
Dalam kehidupan bernegara, pertahanan negara merupakan aspek yang sangat hakiki dan vital dalam menjamin kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desain pertahanan negara disusun dalam bingkai kepentingan nasional dengan berdasar pada nilai-nilai perjuangan bangsa sebagai titik pijak dalam menyikapi perkembangan lingkungan strategis.
Penerapan sistem pertahanan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah (geografi), kondisi penduduk (demografi), kepentingan nasional serta persepsi ancaman bagi suatu negara. Bagi Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas berupa kepulauan (terdiri dari 17. 504 pulau), dengan jumlah penduduk nomor 4 terbesar di dunia, serta berdasarkan pengalaman sejarah mempertahankan kemerdekaan membuktikan bahwa dukungan/keterlibatan seluruh komponen bangsa sangat efektif dalam perang mempertahankan kemerdekaan, sehingga bangsa Indonesia menetapkan Sishankamrata sebagai Sistem Pertahanan Negara.
Oleh karena itu, tulisan ini ingin menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : Apa yang dimaksud dengan sistem pertahanan rakyat semesta (sishanrata)? Bagaimana keterkaitan antara sistem pertahanan rakyat semesta dengan daerah perbatasan? Apa saja permasalahan yang terjadi di daerah perbatasan? Bagaimana dengan daerah perbatasan antara Indonesia (Propinsi Kepulauan Riau) dengan Singapura? Bagaimana implementasi sistem pertahanan rakyat semesta di daerah perbatasan?
Konsepsi Sishanrata
Pertahanan negara Indonesia tidak eksklusif, tetapi melibatkan seluruh komponen bangsa Indonesia. Atas dasar itu maka Pertahanan negara diformulasikan dalam sistem pertahanan Indonesia yang bersifat semesta yang diejawantahkan ke dalam usaha seluruh bangsa Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam konteks tersebut, hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem pertahanan Indonesia yang bersifat semesta mengalir dari amanat Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30, bahwa usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 3 Tahun 2002, Sistem Pertahanan Semesta dibangun dan dipersiapkan untuk menghadapi setiap bentuk ancaman, baik yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Selanjutnya, pertahanan negara Indonesia yang diselenggarakan dalam suatu Sistem Pertahanan Semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, serta segenap sumber daya nasional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut. Sistem Pertahanan Semesta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan yang kuat dan disegani baik kawan maupun calon lawan. Dipersiapkan secara dini berarti Sistem Pertahanan Semesta dibangun secara terus-menerus sejak masa damai sampai masa perang.
Sistem Pertahanan Semesta memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter yang saling menyokong dalam menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Sistem Pertahanan Semesta dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama, serta segenap sumber daya nasional lainnya sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam menghadapi ancaman nirmiliter, Sistem Pertahanan Semesta menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi, didukung oleh unsur lain dari kekuatan bangsa.
Pada masa damai, Sistem Pertahanan Semesta dibangun untuk menghasilkan daya tangkal yang tangguh dengan menutup setiap ruang kelemahan yang dapat menjadi titik lemah. Pembangunan Sistem Pertahanan Semesta pada masa damai dilaksanakan dalam kerangka pembangunan nasional yang tertuang dalam program pemerintah yang berlaku secara nasional. Pada masa perang atau pada kondisi negara menghadapi ancaman nyata, pemerintah mendayagunakan Sistem Pertahanan Negara sesuai dengan hakikat ancaman atau tantangan yang dihadapi. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter dalam susunan Komponen Utama Pertahanan, yaitu TNI, serta Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional.
Komponen Cadangan dibentuk dari sumber daya nasional yang dipersiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI. Mobilisasi merupakan tindakan politik dari pemerintah melalui pernyataan Presiden untuk mengerahkan dan menggunakan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional sebagai kekuatan pertahanan.
Komponen Pendukung adalah sumber daya nasional selain Komponen Utama dan Komponen Cadangan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Komponen Pendukung dikelompokkan dalam lima suku komponen pendukung, yakni Garda Bangsa, tenaga ahli sesuai dengan profesi dan bidang keahliannya, warga negara lainnya, industri nasional, sarana dan prasarana, serta sumber daya buatan dan sumber daya alam yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan. Garda Bangsa adalah salah satu unsur utama dalam Komponen Pendukung, yang terdiri atas warga negara yang memiliki kecakapan dan keterampilan khusus, jiwa juang, kedisiplinan, serta berada dalam satu garis komando yang sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk membantu tugas-tugas pertahanan pada saat negara membutuhkan Komponen Pendukung. Unsur-unsur Garda Bangsa berasal dari unsur Kepolisian Negara, Satuan Polisi Pamong Praja yang dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda), unsur Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang dikoordinir oleh Pemda, Resimen Mahasiswa yang pembinaannya di bawah perguruan tinggi, Alumni Resimen Mahasiswa, serta organisasi kepemudaan.
Pertahanan militer bertumpu pada TNI sebagai Komponen Utama didukung oleh Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang dipersiapkan dan dikembangkan untuk menghadapi ancaman militer. Tentara Nasional Indonesia mendinamisasi pertahanan militer sebagai lapis utama pertahanan negara untuk melaksanakan operasi militer perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Dalam melaksanakan OMP, TNI mengembangkan strategi militer sesuai dengan hakikat ancaman yang dihadapi dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia serta sumber daya pertahanan yang tersedia. OMP yang diselenggarakan TNI dikemas dalam keterpaduan tiga matra (Tri Matra Terpadu).
Pertahanan nirmiliter adalah peran serta rakyat dan segenap sumber daya nasional dalam pertahanan negara, baik sebagai Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer maupun sebagai fungsi pertahanan sipil dalam menghadapi ancaman nirmiliter. Fungsi pertahanan nirmiliter yang diwujudkan dalam Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 7 Ayat (2) dalam menghadapi ancaman militer. Sedangkan fungsi pertahanan sipil dalam menghadapi ancaman nirmiliter sebagaimana dimaksud UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pasal 7 ayat (3) terdiri atas fungsi untuk penanganan bencana alam, operasi kemanusiaan, sosial budaya, ekonomi, psikologi pertahanan yang berkaitan dengan kesadaran bela negara, dan pengembangan teknologi. Fungsi-fungsi tersebut merupakan tanggung jawab instansi pemerintah di luar bidang pertahanan sesuai dengan jenis dan sifat ancaman yang dihadapi.
Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) disiapkan secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut, yang selanjutnya akan digunakan secara optimal untuk perang semesta dalam menghadapi ancaman militer asing (luar negeri). Keberhasilan penyiapan Sishanta akan sangat menentukan keberhasilan perang semesta dan akan dapat menimbulkan efek tangkal (Deterrent effect) yang sangat efektif.
Upaya penyiapan Sistem Pertahanan Semesta secara umum telah dilaksanakan, pada tataran strategis telah jelas sesuai UU Pertahanan Negara dan UU tentang TNI, namun pada tataran operasional masih belum dapat terealisasi seperti yang diharapkan (contoh penyiapan komponen cadangan dan pendukung belum jelas). Salah satu faktor yang berpengaruh adalah belum adanya payung hukum yang mengatur, berupa UU komponen cadangan, UU komponen pendukung, UU Latsarmil, UU Bela Negara, UU Mobilisasi dan Demobilisasi serta UU Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai jabaran dari UU Pertahanan Negara dan UU TNI.

Sumber : Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan RI, 2007
Korelasi Sishanrata dan Daerah Perbatasan
Perbatasan negara sebagai manifestasi kedaulatan wilayah suatu negara mempunyai peranan penting dan nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, karena kondisi pertahanan dan keamanan baik skala regional maupun nasional diperlukan sebagai prasyarat pembangunan. Keberhasilan pembangunan akan berdampak penting bagi kedaulatan negara, mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, dan saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara. Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, India, PNG, Republik Palau, Australia dan Timor Leste. Dikawasan perbatasan ini tersebar pulau-pulau terluar yang jumlahnya sebanyak 92 (sembilan puluh dua) pulau termasuk 10 pulau-pulau kecil yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan negara tetangga.
Paradigma wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar sebagai beranda depan negara belum diwujudkan secara optimal, sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi Indonesia. Daerah perbatasan masih dianggap sebagai beranda belakang negara sehingga kurang menjadi prioritas dalam pembangunan nasional.
Dalam perspektif pertahanan negara, Buku Putih Pertahanan RI, menyatakan bahwa gelar pasukan TNI untuk mengamankan wilayah NKRI, diprioritaskan pada daerah konflik, daerah terpencil, pulau terluar, dan daerah perbatasan. Dalam sistem pertahanan negara, daerah perbatasan sangat penting untuk diperhatikan karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan negara tetangga sehingga menimbulkan kerawanan terhadap setiap bentuk infilitrasi yang akan membahayakan keamanan nasional.
Oleh karena itu, dalam konteks sishanrata, daerah perbatasan memerlukan berbagai penyiapan secara dini, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, untuk membangun sabuk pengaman perbatasan guna menciptakan daya tangkal dalam rangka kedaulatan NKRI. Sebagai komponen bangsa, rakyat di daerah perbatasan harus dibentuk, dibina, dan dimobilisir sehingga akan terlahir satuan-satuan rakyat yang berfungsi sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
Penerapan sishanrata di daerah perbatasan sangat mendesak dilakukan mengingat daerah perbatasan adalah lini terdepan dalam menghadapi ancaman musuh apabila keadaan perang terjadi. Rakyat di daerah perbatasan perlu diberi pemahaman dan penyadaran tentang pentingnya gelar sishanrata dalam menghadapi setiap ancaman yang kemungkinan akan menyerang. Keberhasilan dan kegagalan penerapan sishanrata di daerah perbatasan sangat ditentukan oleh rakyat sehingga diharapkan rakyat secara sukarela mendukung sishanrata yang diterapkan di daerah perbatasan.

Isu-Isu Strategis Di Daerah Perbatasan
Secara umum, isu-isu strategis yang terjadi di daerah perbatasan, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut sangat bervariasi. Berikut ini akan diuraikan berbagai isu strategis yang terjadi di wilayah perbatasan, antara lain :
1. Permasalahan Pengamanan Terhadap Pulau-Pulau Kecil Terluar
Berdasarkan Perpres No. 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dimana telah ditetapkan 10 pulau kecil terluar yang harus menjadi prioritas pemerintah untuk menanganinya.
2. Permasalahan Pencurian Kayu (Illegal logging)
Kegiatan pencurian kayu di perbatasan sangat marak dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Pencurian kayu dilakukan melalui perbatasan darat, khususnya lewat jalan-jalan tikus yang sulit untuk dideteksi oleh aparat keamanan, dan juga melalui perbatasan laut, yakni dengan mengangkut kayu-kayu menggunakan kapal.
3. Permasalahan Pencurian Ikan (Illegal Fishing)
Pencurian ikan di wilayah perbatasan laut / perairan seringkali terjadi karena keterbatasan anggaran dan sarana prasarana aparat keamanan dalam melakukan patroli di wilayah perairan perbatasan.
4. Permasalahan Aksi Kriminalitas
Masyarakat perbatasan sangat rawan terjadi aksi kriminalitas, seperti Narkoba, perjudian, pemalsuan dokumen syarat-syarat Paspor, dan penyelundupan, membawa bahan peledak di kapal, dan perdagangan wanita yang dilakukan di wilayah perbatasan.
5. Permasalahan Patok Batas Perbatasan
Batas wilayah negara Indonesia dengan negara tetangga yang ditandai dengan patok batas dengan ukuran yang beragam telah mengalami kerusakan sehingga memerlukan pembenahan dan perbaikan, bahkan penambahan patok batas. Di samping itu, terdapat pula isu pemindahan patok batas yang menjorok ke wilayah Indonesia sehingga dinilai akan merugikan wilayah kedaulatan Indonesia.
6. Permasalahan Terbatasnya Pospamtas
Kualitas dan Kuantitas Pospamtas di wilayah perbatasan sangat terbatas untuk menjaga kedaulatan negara di sepanjang perbatasan. Kondisi bangunan yang terbuat dari kayu, terbatasnya sarana transportasi modern, terbatasnya sarana komunikasi modern, sangat jauhnya jarak antara Pospamtas, sulitnya koordinasdi antar Pospamtas dan sulitnya akses menuju Pospamtas, merupakan gambaran nyata kondisi Pospamtas di wilayah perbatasan.
7. Permasalahan Klaim Blok Ambalat
Masalah Ambalat antara Indoensia – Malaysia yang sampai saat ini masih belum selesai dan belum ada titik temu kesepakatan kedua belak pihak merupakan permasalahan keamanan nasional. Klaim Malaysia atas blok ambalat merupakan ancaman terhadap keutuhan wilayah NKRI sehingga patut untuk diperjuangkan agar jangan sampai Malaysia secara sepihak dan sewenang-wenang melakukan klaim atas blok ambalat.
8. Permasalahan Belum Adanya UU Batas Wilayah NKRI
Sampai dengan saat ini, Indonesia belum memiliki UU batas wilayah NKRI sehingga menyulitkan bangsa Indonesia dalam melakukan diplomasi terhadap masyarakat internasional berkaitan dengan batas wilayah Indonesia. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap keamanan nasional di wilayah perbatasan sehingga perlu segera mendapatkan prioritas dalam menyusun UU batas wilayah Negara yang secara tegas menunjukkan batas-batas wilayah Indoensia, baik darat, laut maupun udara.

Perbatasan Propinsi Kepri dengan Singapura
Secara khusus, permasalahan perbatasan yang menonjol di Propinsi Kepri yang berbatasan laut dengan Singapura adalah terkait ekspor pasir laut yang dilakukan oleh para pengusaha pasir dari Propinsi Kepri ke negara Singapura. Dalam perspektif lingkungan hidup, penambangan pasir laut telah merusak ekosistem laut di perairan Kepri. Dalam perspektif pertahanan negara, penambangan dan ekspor pasi laut ke negara Singapura telah berdampak pada keutuhan wilayah / teritorial Indonesia.
Mengapa demikian? Karena pasir-pasir laut yang diekspor tersebut digunakan oleh Singapura untuk melakukan reklamasi pantai sehingga menjorok ke wilayah NKRI. Saat ini, daratan Singapura bertambah 12 kilometer (km) ke arah perairan Indonesia. Pada saat yang sama, wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Kondisi yang demikian, jelas harus segera diselesaikan karena mengancam kedaulatan NKRI.
Sampai dengan saat ini, Pemerintah masih mengalami dilema. Di satu sisi, apabila pemerintah menghentikan penambangan pasir laut tersebut, maka para pengusaha penambangan pasir dan masyarakat yang bekerja didalamnya akan melakukan protes karena penambangan pasir merupakan satu-satunya mata pencahariannya. Sementara itu, di sisi lain, apabila pemerintah membiarkan kegiatan penambangan dan ekspor pasir tersebut, maka cepat atau lambat, wilayah teritorial Indonesia akan terancam berkurang.
Celakanya lagi, masih terjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tentang ijin penambangan pasir laut. Dalam konteks otonomi daerah, ijin penambangan pasir laut sebagai jenis galian golongan C, merupakan kewenangan Pemerintah Daerah setempat, sebagai bagian dari PAD, sehingga sulit bagi pemerintah Pusat untuk melakukan intervensi untuk menghentikan atau mencabut ijin tersebut. Sementara pemerintah daerah dengan alasan menggenjot PAD demi kesejahteraan masyarakat mengeluarkan ijin penambangan pasir tanpa mempertimbangkan dampak yang lebih luas.
Melihat kompleksitas permasalahan perbatasan di daerah Propinsi Kepri kaitannya dengan penambangan dan ekspor pasir laut ke Singapura, dibutuhkan sikap arif dan bijaksana dari semua pihak, khususnya kepada Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten / Kota beserta DPRD untuk bersama-sama membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengutamakan kepentingan nasional jangka panjang dan mengesampingkan kepentingan sempit, sesaat dan jangka pendek.

Implementasi Sishanrata Di Daerah Perbatasan
Implementasi sishanrata di daerah perbatasan sangat mendesak dilakukan mengingat rentannya daerah perbatasan terhadap berbagai bentuk infilitrasi, penyusupan, penyelundupan, dan kejahatan trannasional lainnya yang dapat mengancam keamanan nasional. Daerah perbatasan sebagai lini terdepan pertahanan negara harus didesain secara dini untuk memfilter dan menangkal setiap ancaman fisik dan non fisik yang akan masuk.
Dalam dataran kongkret dan operasional, implementasi sishanrata di daerah perbatasan diwujudkan dengan :
1. Melakukan pendataan / pencatatan / inventarisasi terhadap komponen masyarakat di daerah perbatasan yang menaruh minat untuk masuk menjadi komponen cadangan dan komponen pendukung.
2. Melakukan perekrutan/pemilahan/pemilihan terhadap komponen masyarakat di daerah perbatasan yang memiliki kualifikasi dan memenuhi kriteria sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung.
3. Membekali komponen masyarakat di daerah perbatasan dengan pendidikan kesadaran bela negara dan pelatihan dasar kemiliteran secara bertahap, bertingkat dan berlanjut.
4. Mengorganisasi komponen masyarakat di daerah perbatasan menjadi satuan-satuan cadangan dan pendukung pertahanan negara.
5. Mengerahkan / memobilisasi komponen masyarakat di daerah perbatasan yang tergabung dalam satuan-satuan tersebut untuk memperkuat komponen utama.
6. Menggunakan komponen masyarakat di daerah perbatasan yang tergabung dalam satuan-satuan tersebut untuk kepentingan OMP dan OMSP.
Dengan disiapkannya secara dini komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara di daerah perbatasan dalam kerangka Sishanrata, maka akan tergelar sistem deteksi dini di tengah masyarakat perbatasan sehingga mampu melahirkan mekanisme “quick response” dan “quick action” terhadap permasalahan yang muncul, guna meningkatkan daya tangkal bangsa di daerah perbatasan.
Prasyarat keberhasilan implementasi sishanrata di daerah perbatasan ini adalah pemahaman dan kesadaran seluruh komponen bangsa untuk saling bersinergi menumbuhkan semangat juang, jiwa patriotisme, militansi bangsa, dan rasa nasionalisme yang tinggi sehingga menjadi modal dasar dan landasan utama dalam kerangka mempertahanan kedaulatan bangsa dan keutuhan wilayah NKRI.

Catatan Penutup
Berdasarkan penggambaran yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik benang merah kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem pertahanan negara Indonesia adalah Sishanrata sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, UU Pertahanan Negara, UU TNI, dan Buku Putih Pertahanan Negara. Sishanrata melibatkan rakyat sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung pertahanan negara. Tanggungjawab pertahanan negara dipikul oleh semua komponen bangsa, dan bukan hanya oleh TNI semata. Setiap warga negara wajib untuk melakukan bela negara dalam rangka sistem pertahanan rakyat semesta.
2. Sishanrata sangat relevan dan terkait dengan daerah perbatasan. Sebagai garis terdepan pertahanan negara, daerah perbatasan memiliki posisi sangat strategis dalam konteks penyelenggaraan pertahanan negara. Sishanrata menempatkan daerah perbatasan sebagai sabuk pengaman (safety belt) yang dapat menciptakan daya tangkal terhadap segala bentuk ancaman yang masuk ke wilayah NKRI.
3. Isu-isu Strategis di daerah perbatasan sangat komplek dan bervariasi, mulai permasalahan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Berkaitan dengan permasalahan perbatasan Propinsi Kepri, kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut merupakan persoalan yang harus segera ditangani sehingga tidak mengancam keutuhan wilayah NKRI.
4. Implementasi Sishanrata di daerah perbatasan sangat penting dilakukan dengan langkah kongkret membentuk satuan-satuan komponen cadangan dan komponen pendukung
Berlandaskan kesimpulan tersebut, maka dapat dirumuskan saran sebagai berikut :
1. Perlu dibuat model sishanrata yang berlaku nasional, mengakomodasi isu-isu kritis di masing-masing wilayah, melibatkan seluruh komponen masyarakat, dan dapat digladikan atau dilatihkan pada masyarakat.
2. Perlu percepatan pengesahan UU Keamanan Nasional yang akan menjadi payung hukum induk dalam menyelenggarakan keamanan nasional sehingga menyatukan semua lembaga, instansi, dan organisasi, untuk saling bersinergi mewujudkan Sishanrata.
3. Perlu ditingkatkan saluran lobi, komunikasi dan koordinasi intensif antara pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Komponen Cadangan, RUU Komponen Pendukung, RUU Mobilisasi dan Demobilisasi, RUU Latsarmil, RUU Bela Negara, dan RUU Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga tercapai kesamaan pandangan dan kesatuan persepsi tentang Sishanrata.
4. Perlu kerjasama, koordinasi dan komunikasi secara intensif lintas departemen, lintas sektor, lintas fungsi, dan lintas lembaga, baik pada Deparatemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Dalam negeri, Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Kehutanan, Bappenas, dll dalam menangani permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan.
5. Perlu kerjasama, koordinasi dan komunikasi secara intensif antar Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi Kepulauan Riau dalam membuat / menyusun Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan penanganan kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Daftar Pustaka

UUD 1945

UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara

UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI

Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2007

Dephan RI, Penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara Memupuk Jiwa Patriotisme, tanggal 29 Januari 2007.

Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan Dephan RI, Kebijakan Bidang Potensi Pertahanan Tahun 2007, Makalah yang disampikan dalam Rapim Dephan RI Tahun 2007.

Anak Agung Banyu Perwita, “Human Security dalam Konteks Global dan Relevansinya Bagi Indonesia, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXII/2003, No.1.

Anthony Giddens, Jalan Ketiga, Terjemahan, Jakarta, Gramedia, 1999

Barry Buzan, People, State and Fear : An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War, (Cornwall : Harvester Wheatsheaf , 1991)

Benedict O. Anderson, Nasionalisme di Tengah Arus Globalisasi, Jakarta, Bentang Budaya, 2004

H.S Watson, Nation and States. An Enquiry into the Origin of Nation and the Politics of Nationalism. Boulder Colorado, Westview Press, 1997

Hans Dieter Mackie, National Security In US Post September Bomb, New Jersey, Sage Publication Press, 2004.

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1995

Kenichi Ohmae, The Borderless World. Power and Strategy in the Global Market Place, Great Britain, Harver Collins Publisher, 1990

Mabes TNI AD, Tinjauan Terhadap Isu-Isu Tentang Sishanneg, Keberadaan Satuan Komando Kewilayahan TNI AD Dan Binter, Jakarta, November 2004.

Mabes TNI, Postur TNI 2004 – 2014, Jakarta, 2004.

Perpustakaan Nasional, Negara dan Bangsa : Bagian Indonesia, (Jakarta : Bagian Publikasi Perpustakaan Nasional, 2001)

Philip Jusario Vermonte, “Transnational Organized Crime : Isu dan Permasalahannya”, Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002, No. 1

Rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas RI), April 2005

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si . Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi dan Dosen Non Organik Seskoad Bandung

Categories: Kajian TNI | Leave a comment

TNI AD SEBAGAI PELAYAN PUBLIK SEKTOR PERTAHANAN DARAT


Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si

Pengantar
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa bahwa tujuan nasional Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pertahanan negara merupakan salah satu bentuk upaya bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional. Hakikat pertahanan negara adalah keikutsertaan tiap-tiap warga negara sebagai perwujudan hak dan kewajibannya dalam usaha pertahanan negara.
Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan Bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Tentara Nasional Indonesia dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi dengan dukungan anggaran belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
Tulisan ini akan menyoroti tentang institusi militer sebagai penyedia jasa pelayanan publik di sektor pertahanan. Agar sistematis dan runtut, tulisan ini dibagi dalam tiga bagian penting. Bagian pertama akan membahas tentang Departemen Pertahanan sebagai institusi representasi pemerintah yang berperan sebagai pembuat kebijakan publik dibidang pertahanan negara. Bagian kedua memaparkan tentang TNI sebagai institusi yang berperan sebagai pelaksana kebijakan publik sektor pertahanan negara. Dan bagian ketiga menggambarkan mengenai TNI AD yang berperan sebagai pelaksana kebijakan publik sektor pertahanan darat.

Dephan Pembuat Kebijakan Publik
Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan/atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya.
Berdasarkan UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, khususnya pasal 16 menyatakan bahwa Deparetemen Pertahanan membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara, menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden, menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya, merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya, menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya, dan bekerjasama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan.
Dari uraian tugas yang dimuat dalam UU tersebut dapat dikatakan bahwa Departemen Pertahanan merupakan institusi pembuat kebijakan publik di sektor pertahanan, baik di darat, laut maupun udara. Departemen Pertahanan merupakan aktor pembuat kebijakan yang bersifat strategis dan manajerial yang berskala nasional.
Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila dalam membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan pertahanan negara, Deparetemen Pertahanan melibatkan seluruh stake holders sehingga kebijakan yang dibuat akan mendapatkan masukan sebanyak mungkin dari berbagai pihak. Sudah menjadi kesadaran semua pihak, bahwa masalah pertahanan negara merupakan masalah seluruh bangsa dan negara Indonesia, dan bukan hanya masalah yang menjadi tanggungjawab Departemen Pertahanan dan TNI semata.
Berbagai produk perundang-undangan yang dirumuskan di Departemen Pertahanan sebelum diajukan ke DPR seyogyanya dimintakan pendapat kepada masyarakat dengan membuka ruang publik yang seluas-luasnya sehingga tercipta proses pembuatan kebijakan publik yang transparan dan demokratis. Kebijakan umum yang bersifat strategis dan managerial yang berkaitan dengan hakekat ancaman dan upaya yang harus dilakukan untuk menangkalnya harus menjadi prioritas Departemen Pertahanan dalam membuat produk hukum pertahanan negara.
Berkaitan dengan signifikansi strategis Departemen Pertahanan, maka diperlukan kompetensi seorang Menteri Pertahanan yang mengetahui dan menguasai ilmu pengetahuan tentang pertahanan negara, strategi perang dan ilmu kemiliteran. Meskipun jabatan Menteri Pertahanan adalah jabatan politis dan bukan jabatan karier, namun harus diusahakan penunjukkan Menteri Pertahanan oleh Presiden mempertimbangkan kompetensi yang dimiliki calon Menhan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, sudah menjadi kebiasaan bahwa Menteri Pertahanan biasanya dijabat oleh seorang yang berlatar belakang sipil, sedangkan Menteri Dalam Negeri adalah Purnawirawan TNI. Hal ini bukan berarti kebiasaan yang salah, namun alangkah lebih baiknya jika dibalik. Menteri Pertahanan dijabat oleh purnawirawan TNI dan Menteri Dalam Negeri dipegang oleh kalangan Sipil.

TNI Melayani Publik Sektor Pertahanan
Dalam UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, khususnya pada pasal 10, dinyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentara Nasional Indonesia, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk : mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; melaksanakan Operasi Militer selain Perang; dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Dikatakan dalam UU No 34 tahun 2004, bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai: penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; penindak terhadap setiap bentuk ancaman; pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas pokok TNI dilakukan dengan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Yang dimaksud dengan tugas OMSP adalah sebagai berikut :
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata;
2. mengatasi pemberontakan bersenjata;
3. mengatasi aksi terorisme;
4. mengamankan wilayah perbatasan;
5. mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis;
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
7. mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan;
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Dalam menghadapi ancaman dari luar berupa kekuatan militer negara lain, TNI melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP). Meskipun perkiraan ancaman tradisional berupa agresi atau invasi negara lain sangat kecil kemungkinannya, namun tidak membuat kesiapsiagaan pertahanan negara menjadi kendor. Dalam konteks ini upaya penyelenggaraan pertahanan negara lebih diarahkan pada upaya preventif guna mencegah dan mengatasi dampak keamanan yang lebih besar melalui kehadiran dan kesiapan kekuatan TNI.
Ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia diperkirakan lebih besar kemungkinan berasal dari ancaman non-tradisional, baik yang bersifat lintas negara maupun yang timbul di dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan strategis pertahanan Indonesia yang diarahkan untuk menghadapi dan mengatasi ancaman non-tradisional merupakan prioritas dan sangat mendesak. Dalam pelaksanaannya mengedepankan TNI dengan menggunakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). TNI melaksanakan OMSP bersama-sama dengan segenap komponen bangsa lain dalam suatu keterpaduan usaha sesuai tingkat eskalasi ancaman yang dihadapi. Terhadap setiap ancaman dan gangguan keamanan, TNI akan senantiasa mengedepankan upaya pencegahan sebagai cara terbaik guna menghindari korban dan dampak lain yang lebih besar.
Penggunaan kekuatan TNI dalam tugas OMSP diarahkan untuk kepentingan pertahanan yang bersifat mendesak. Tugas-tugas mendesak tersebut antara lain melawan terorisme, menghadapi kelompok separatis Aceh dan Papua, menghadapi gangguan kelompok radikal, menghadapi konflik komunal, mengatasi perompak dan pembajak, mengatasi imigrasi ilegal, mengatasi penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut, mengatasi penebangan kayu ilegal, mengatasi penyelundupan, membantu pemerintahan sipil dalam mengatasi dampak bencana alam, penanganan pengungsi, bantuan pencarian dan pertolongan (Search and Rescue), pengamanan obyek vital, serta melaksanakan tugas-tugas perdamaian dunia.
Dalam konteks ini, dapat dinyatakan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara merupakan lembaga yang secara filosofis menyediakan pelayanan publik di sektor pertahanan. TNI melayani publik dalam hal berbagai gangguan dan ancaman yang dapat mengganggu masyarakat, bangsa dan negara. TNI berkewajiban untuk memberikan rasa aman bagi warga negara Indonesia dari serangan musuh baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tolok ukur keberhasilan pelayanan publik TNI di sektor pertahanan adalah apabila masyarakat merasa aman dan bebas dari segala ancaman dan keutuhan NKRI dapat dijaga.
Untuk saat ini, yang dimaksud dengan kondisi aman masyarakat yang terbebas dari segala ancaman adalah apabila masyarakat tidak dihantui lagi oleh aksi terorisme, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas negara, gangguan keamanan laut, perusakan lingkungan, imigran gelap, dan bencana alam. Untuk masalah perbatasan, TNI harus mampu menjaga setiap jengkal tanah air Indonesia dan menyediakan layananan rasa aman bagi masyarakat di sekitar wilayah perbatasan.
Institusi TNI harus menyediakan rasa aman (security sense) bagi masyarakat, bangsa dan negara. Apabila hal ini telah tercapai, maka dapat dikatakan bahwa pelayanan publik yang dilakukan oleh TNI telah berhasil dan patut mendapatkan apresiasi masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, pelayanan publik yang dilakukan TNI di sektor pertahanan adalah sangat vital bagi keberlangsungan bangsa.

TNI AD Melayani Publik Sektor Pertahanan Darat
Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pasal 8 dinyatakan bahwa TNI AD bertugas : melaksanakan tugas TNI matra darat di bidang pertahanan; melaksanakan tugas TNI dalam menjaga keamanan wilayah perbatasan darat dengan negara lain; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra darat; dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan di darat.
Dari UU TNI tersebut sangat jelas terlihat bahwa TNI AD adalah alat pertahanan negara di sektor pertahanan darat. TNI AD diamanatkan untuk menjaga perbatasan darat wilayah Indonesia dari berbagai serangan musuh yang datang dari luar, baik berupa serangan militer negara asing maupun penyelundupan, kejahatan lintas negara, terorisme, dan lain-lain. Di samping itu, TNI AD juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan wilayah pertahanan dalam rangka mendukung terselenggarakannya sistem pertahanan semesta.
Dari sini dapat disimpulkan dengan jelas bahwa TNI AD merupakan institusi yang harus menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, bangsa dan negara di sektor pertahanan darat, khususnya masyarakat di wilayah perbatasan yang sangat rentan terhadap berbagai infiltrasi dan serangan musuh. Sudah menjadi kewajiban TNI AD sebagai aparat pelayanan publik di sektor pertahanan darat untuk menyediakan dan memberikan jasa keamanan kepada masyarakat sehingga masyarakat, terutama di perbatasan darat Indonesia, merasa aman dan terbebas dari segala potensi ancaman musuh.
Berbagai gelar pasukan TNI AD, baik Kotama maupun Koter, senantiasa diarahkan untuk pelayanan publik bagi masyarakat. Rasa aman masyarakat yang terbebas dari segala ancaman musuh yang datang dari dalam dan luar negeri merupakan indikator keberhasilan pelayanan publik di sektor pertahanan darat yang dilakukan oleh TNI AD.
Dalam rangka menyediakan pelayanan publik di sektor pertahanan darat, khususnya dalam hal pemberdayaan wilayah pertahanan, terutama di daerah, TNI AD wajib untuk melakukan pengelolaan terhadap komponen cadangan dan komponen pendukung, dengan cara, salah satunya, menyelenggarakan latihan dasar kemiliteran, bagi masyarakat sehingga apabila terjadi serangan pendadakan dari luar, masyarakat bisa memberdayakan diri sendiri. Apalagi untuk latihan dasar kemiliteran sudah diamanatkan dalam UU, meskipun PP nya belum ditetapkan.

Penutup
Departemen Pertahanan sebagai pembuat kebijakan publik di sektor pertahanan harus berkoordinasi dengan berbagai pihak dalam merumuskan pokok-pokok kebijakan pertahanan negara, baik masyarakat, pemerintah, maupun TNI. Harus menjadi prinsip bahwa masalah pertahanan negara bukan hanya masalah Dephan semata, melainkan masalah seluruh masyarakat Indonesia.
TNI sebagai pelaksana kebijakan publik dan penyedia pelayanan publik di sektor pertahanan harus benar-benar menyediakan rasa aman bagi masyarakat Indonesia dari segala ancaman musuh baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. TNI harus melaksanakan setiap tugas yang termuat dalam UU, baik tugas OMP maupun OMSP.
TNI AD sebagai penyedia pelayanan publik di sektor pertahanan darat harus mampu untuk memberikan ketenangan dan keamanan wilayah, khususnya masyarakat di wilayah perbatasan, wilayah konflik, wilayah terpencil dan wilayah rawan. Apabila masyarakt yang berada diwilayah yang disebutkan tadi dapat merasakan aman, maka fungsi pelayanan publik TNI AD dapat dinyatakan telah berhasil.
Dalam rangka melaksanakan tugasnya tersebut, tentunya Dephan, TNI, dan TNI AD harus selalu berkooridinasi dengan pihak-pihak terkait dan didukung oleh payung hukum yang jelas dan dukungan anggaran yang memadai. Fasilitas pendukung perlu diupayakan pemerintah agar supaya pelayanan publik yang dilakukan oleh TNI dan TNI AD dalam menjaga masyarakat dan keutuhan wilayah NKRI dapat terlaksana.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Pertahanan Negara
Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia 2003
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar Wilayah Indonesia
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor : PER / 01 / M / VIII / 2005 Tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Departemen Pertahanan
Doktrin Kartika Eka Paksi

Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si, Adalah Dosen FISIP Unjani Cimahi

Categories: Kajian TNI | Leave a comment

Blog at WordPress.com.